Berguru kepada si Roy
Oleh Anas Al Lubab*
Judul buku : Balada si Roy: Joe
Penulis : Gol A Gong
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 368 hlm; 20 cm
Cetakan : 2018
Novel legendaris tahun 80-an yang diterbitkan ulang untuk kesekian kalinya oleh Penerbit Gramedia mendampingi filmnya yang rencananya akan tayang 2019 ini, patut menjadi list buku yang mesti dibeli (dibaca) setiap anggota keluarga. Baik bagi yang pernah membacanya pun yang belum. Edisi kali ini dilengkapi oleh penambahan detail setting lokasi serta pengembangan dialog, sehingga novelnya menjadi lebih tebal.
Bagi orangtua, novel ini akan menjadi semacam “buku psikologi remaja” yang akan memandu para orangtua, bagaimana cara bijak memahami dan memperlakukan gejolak masa remaja dengan segala kompleksitasnya. Sementara bagi remaja, novel ini akan membangkitkan semangat untuk menempa diri menjadi manusia dewasa yang penuh tanggungjawab dan punya rasa peduli.
foto dari |
https://ceritaleila.com |
Novel ini berkisah tentang seorang remaja bandel penuh sensasi bernama Roy. Celana jeans belel, jaket levis, kalung dog tag, serta anjing herder warisan ayahnya akan mengajak kita berpetualang menjelajahi labirin persoalan sosial. Roy yang pindah dari Bandung dan sekolah SMA di Serang harus berurusan dengan Dullah dedengkot geng Borsalino lantaran menggodai Ani si Venus yang dicintai oleh Dullah. Dari sini kita bisa membaca proses perkembangan Kota Serang dalam menghadapi “penetrasi zaman” yang dalam bahasa Gol A Gong disebut 3f revolutions (food, fashion, dan fun).
Di bab awal, Gong membeberkan bagaimana orang-orang Banten yang ingin maju mesti merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, lantaran tahu di Banten akan sulit berkembang. Hal ini mengingatkan saya pada pepatah yang menyatakan “lebih baik menjadi teri di dalam lautan, ketimbang paus di dalam kubangan,” Gong pun menyayangkan orang-orang Banten yang ia sebutkan, setelah sukses tidak terpanggil untuk kembali ke Banten “membesarkan” kampung halamannya.
Di balik cerita petualangan yang mendebarkan, Gol A Gong sebagai pengarangnya dengan piawai mampu memasukkan pelbagai unsur yang memperkaya wawasan pembaca. Dari mulai kilasan peristiwa sejarah, judul-judul film bagus di zamannya, pengetahuan musik, olahraga, judul buku-buku sastra, quote-quote bijak, hingga penanaman nilai-nilai karakter, yang tersebar di sekujur halaman novel yang mengalir indah tidak tercebur menjadi semacam teks khutbah yang menggurui dan membosankan.
Patut disayangkan penerbit sekelas Gramedia mesti kecolongan pada hal-hal mendasar seperti kesalahan ketik (typo) yang terhitung banyak (setidaknya ada 17 typo yang saya temukan di berbagai halaman). Kebanggaanya (h. 63) kurang huruf n, kakakkakak (h. 89) tanpa -, hHardtop tertulis 2 kali dengan huruf h double Hh (h. 108), lamu (h. 124) kurang huruf n, sampal (h. 136) mestinya sampai, petualang jiwanya (h. 144) mestinya petualangan jiwanya atau jiwa petualangnya, makeup (h. 184) mestinya make up, mengerukan (h. 200) kurang huruf t, menjeguknya (h. 224) kurang huruf n, berlidung (h. 246), bejalan, bemain (h. 277), tekantuk-kantuk (h. 284), memperlihatan (h. 295) kurang huruf k, becermin (h. 308), jehu (h. 335) mestinya debu, akhinya (h. 353) kurang huruf r.
Beberapa typo di atas, semoga menjadi pelajaran berharga bagi Irna Permanasari dan Laura Ariestiyanty selaku penyunting dan penyelaras aksara buku ini, agar lebih cermat dan teliti lagi dalam menggarap buku-buku berikutnya.
Bagi saya, novel ini merupakan pernyataan sikap penulis terhadap gempuran arus globalisasi serta perlawanannya terhadap sikap primordial masyarakat Banten. Orangtua Dullah yang digambarkan sebagai tokoh jawara serta idiom “Sadigo (salah dikit golok)” sangat mudah kita tebak ditujukan kepada siapa. Beruntung keluarga jawara tersebut rupanya buta literasi (iliterat) sehingga tidak menyadari Gol A Gong tengah melakukan perlawanan lewat jalur sastra yang efeknya telah menggerakkan banyak orang yang terinspirasi setelah membaca novelnya.
Roy sebagai artikulator, mengingatkan kita bahwa musik dan film sangat berpengaruh kuat terhadap perkembangan prilaku remaja. Dan bagi Roy kemajuan atau perkembangan zaman tak jadi persoalan dan tak mungkin kita hindarkan, melainkan meski kita hadapi dengan tegar dan penuh kesiapan. Salahsatu opsi yang ditawarkan Gol A Gong melalui Roy adalah mengkampanyekan pentingnya “menggenggam” buku dan olahraga sebagai bekal. Bagaimana Roy selalu membawa buku-buku diranselnya dan kerap meminjamkannya kepada teman-temannya, juga support Roy kepada atlit badminton si dark sweet lady bernama Ongky yang baru ia kenal.
Mengenai pentingnya buku atau bacaan bermutu, simaklah pernyataan Gol A Gong berikut yang dititipkan melalui jalan pikiran tokoh Roy saat mengetahui Ani si dewi Venus ternyata doyan baca; Selama ini orang-orang cuma memberi makan dari tenggorokan, masuk ke perut, terus berakhir di toilet. Berbeda jika kita memberi makan kepala dengan asupan buku yang kaya nutrisi. Otak kita tidak kosong, saat berbicara juga berisi. Pepatah “you are what you eat, you talk what you read” h. 153.
Sementara dari tokoh Ibu Roy, kita bisa mengenal prototype orangtua bijaksana yang membesarkan anaknya dengan limpahan kasih sayang dan kepercayaan. Sehingga sebandel apapun si Roy seakan selalu ada yang mengeremnya agar tidak nyelonong menabrak batas. Nakal boleh asal ada batasnya. Pacaran adalah cara mempelajari alat reproduksi. Mengenalkan seks sejak usia remaja. Jangan tabu membicarakan seks (h. 151). Begitu penegasan Gol A Gong.
Dari tokoh Roy, kita belajar sikap humanisme dan kepekaan sosial. Bagi Roy, Hidup adalah perjuangan tanpa henti, segala masalah atau penderitaan yang datang menghampiri tak boleh membuat kita lemah, justru menjadi suluh yang akan mematangkan jiwa kita untuk lebih tegar dan bijaksana lagi mensyukuri kehidupan. Kita simak misalnya nasehat ibunya Roy yang mengatakan bahwa kebahagiaan harus diperjuangkan, bukan dengan cara mengemis minta belas kasihan, rendah diri, dan pasrah nasib (h. 157).
Novel ini bukan saja karya masterpiece dari Gol A Gong, lewat Balada si Roy lah kita bisa membaca bagaimana usaha keras seorang Gol A Gong menempa diri menjadi seorang pengarang sebelum kita kenal sukses seperti sekarang. Kadang kita sulit membedakan antara sosok Roy dengan Gol A Gong sebagai pengarangnya. Gong benar-benar mempraktikkan nasehat sastrawan barat yang menganjurkan, kalau ingin jadi pengarang, pergilah, merantaulah jauh ke negeri orang, dan tulislah pengalaman-pengalaman yang didapat. Kamu tahu kan, nggak ada sekolah yang bisa memberikan ijazah pengarang. Karenanya aku mesti mencari sendiri (h. 348).
Menjadi penulis atau pengarang memang merupakan kerja intelektual, sehingga mesti riset dan observasi dulu sebelum menuliskannya (mengenai hal ini, simak dialog Roy dengan ayahnya Ani saat tengah bermain catur, h. 206). Balada si Roy adalah hasil pengembaraan Gol A Gong remaja mereguk setiap sudut indonesia bahkan Asia.
Melalui Roy, kita pun diajari sikap besar hati dan pemaaf. Hal itu bisa kita simak saat Roy tahu yang membuatnya mengalami hal-hal ganjil mabuk kepayang kepada Wiwik, lantaran diteluh-pelet oleh Wiwik yang sakit hati oleh sikap Roy. Setelah sembuh Roy pun segera menemui Wiwik untuk meminta maaf. Pun saat Dullah meminta maaf karena telah membunuh Joe, anjing kesayangannya, Roy pun memaafkannya tanpa memendam dendam.
Perhatikan penegasan naratif Gol A Gong; Dia sering mengalami kisah yang membuat jiwanya matang. Dia sudah bisa memilih mana yang baik dilakukan dan tidak. Dia tidak akan pernah membenci seseorang kalau sumber kesalahan ada padanya. Jika dia bersalah terhadap anak kecil pun, dia tidak akan merasa jatuh wibawanya untuk meminta maaf (h. 255).
Pun saat Roy membesarkan hati Toni yang putus asa saat harus menerima kenyataan pahit sebelah kakinya mesti diamputasi akibat kecelakaan maut. Melalui cerita “berapa kilo daging” yang begitu sugestif Roy pun berhasil mengembalikan kepercayaan diri Toni untuk bangkit menerima kenyataan hidup. Napoleon adalah pria cebol untuk ukuran sana, aktris jelita Marlee Matlin bisu tuli, dan Stevie Wonder buta. Tuhan selalu memberikan hal-hal terbaik buat umatnya. Percayalah ini! Sejarah sudah membuktikannya (h. 220). Tegas Gong.
Begitu banyak hikmah dan pelajaran kehidupan yang dijalani Roy yang bisa kita petik di sekujur novel ini. Terimakasih Roy, kau telah berbagi pengalaman hidup yang luarbiasa! Kita tunggu terbit ulangnya 9 edisi novel Roy selanjutnya!
*Anas Al Lubab, Penyuka buku tinggal di kota Serang Banten.
Komentar
Posting Komentar