Sangkala Lima: Masih Bolongkah Salat Kita?
Oleh Anas Al Lubab
Judul :
Sangkala Lima
Penulis :
Langlang Randhawa
Penerbit :
Salamadani Grafindo Bandung
Cetakan :
April 2012
Tebal :
328 Halaman
Melahap sajian kisah yang disuguhkan Langlang Randhawa
(selanjutnya disingkat LR) merenyuk ingatan saya kepada romantisme kehidupan
masa kecil di kampung halaman. Tokoh Mi’ang buruh kasar yang kerap dilekatkan
kepada anak yang dongok dan tak mau
menuruti petuah orangtua mengingatkan saya kepada sosok Aning tetangga kampung
yang bermata teleng selalu mengulas
senyum setiap bertemu siapapun namun begitu muklis
disuruh-suruh meski hanya diberi imbalan alakadarnya. Tokoh-tokoh yang LR
hidupkan di novel ini selalu memiliki ciri tampilan fisik yang unik; Mi’ang
yang berpostur pendek kekar, suara melengking dengan pundak miring sebelah
lantaran terlalu sering mengangkut air untuk memandikan jenazah, Mukri atau Mukray
yang bermulut jungur, Hamdani atau Dani
Boy yang bergigi gingsul dan banyak lagi.
Novel ini bercerita tentang beban psikologis yang
harus ditanggung tokoh remaja bernama Larang yang mesti mengubur cita-citanya
mengenakan seragam abu putih dan menahan gejolak cintanya pada Fitriyanti
karena dilesakan ke kobong pesantren
milik Kyai Rasyid teman SD Suhemi—ayahnya sendiri lantaran terganjal biaya.
Namun itu hanya bertahan beberapa hari lantaran Larang tak diajari ngaji
melainkan kerja rodi, dimana Larang mesti membantu kebutuhan istri Kyai dan
pesantren dari pagi hingga malam hari. Dari mulai mengajari ngaji anak kampung,
mencari kayu bakar, mengambil termos es yang dititipkan di warung-warung,
membuat es kembali, hingga memijiti badan Kyai di malam hari.
Larang pun kabur dan kembali ke rumah. Kemudian di
kirim lagi ke pesantren yang lain. Dari sinilah mengalir deras pernak pernik
kehidupan dunia pesantren yang akan membuat pembaca geli. Perkenalan Larang dengan
Mukray dan Dani Boy teman sekamarnya telah menyeretnya dalam pusaran dunia
mistik pesantren yang hingga kini mungkin kerap dipelihara di beberapa
pesantren tradisional di Indonesia. Selama di pesantren Larang mengalami banyak
hal terutama kegilaan-kegilaan yang di pamerkan oleh kedua teman sekamarnya
Mukray dan Dani Boy. Mengambil ayam dari kolong amben dengan menabur beras,
menyelinap mojok ke kamar santri putri, ritual puasa aneh dengan merendam diri
di sungai, hingga mencuri buah rambutan bertelanjang bulat dan mengambilnya
secara acak demi penghilangan jejak.
Di akhir kisah, Larang sadar sepeninggal ibunya ia
mendapat pencerahan melalui pesan menjaga salat lima waktu yang dengan rewel
selalu diwanti-wanti ibunya semasa hidup kepadanya. Diperkuat penuturan
filosofi salat versi khazanah cina yang diuraikan Muhammad Kong Bun—yang mengaku
masuk Islam berkat kejujuran ibunya Larang yang memberikan kembalian uang yang
keliru disodorkan Kong Bun di warungnya. Endingnya Larang menjadi jurnalis yang
dipertemukan pada insiden berdarah Ahmadiyah Cikeusik dengan tokoh-tokoh di
pesantren, seperti Mukray yang menjadi polisi, Agus Bewok—maling di pondok—yang
menjadi Agus Suparman pemimpin Ahmadiyah Umbulan, Dahlan—yang mengajarkan
ilmu-ilmu mistik—yang jadi anak buah Agus Bewok. Dan kabar Muhammad Kong Bun
yang akan menikahi Fitri Hasanah—anak kyai yang pernah mojok dibilik pesantren
bersama Larang. Dan Larang pun akhirnya akan mempersunting Fitri Yanti—yang
dulu berhasil digaet Subadra yang meninggal lantaran tabrakan setelah pesta
miras—dengan memesan gaun pada Dani Boy yang kian melambai setelah menjadi
desainer di Jogja.
Sebagai penikmat sastra, Saya ingin menyampaikan
kekaguman saya kepada penulis yang berhasil menyuguhkan potret sosial budaya
masyarakat yang nampaknya terjadi di kampung halaman penulisnya sendiri. Bahkan
saya curiga novel ini sesungguhnya novelisasi kehidupan masa kecil penulisnya sendiri
yang tergila-gila oleh sosok Fitrianti yang belum lama ini dipersuntingnya.
Larang adalah Langlang, Fitri Yanti adalah Fitrianti. Ah, nanti akan saya
telisik langsung jika bertemu penulisnya.
Saya tak mengerti alasan penulis yang menggunakan
awalan huruf M di setiap sub bab yang ditulisnya—[m]i’ang, [m]angga, [m]erpati,
[m]usafir, [m]acet, [m]ukri, dst hingga bab 20. Apa mungkin berhubungan dengan
trend lisan remaja perempuan di kampungku kini yang kerap berujar “M banget”
pada sesuatu yang dianggapnya romantis. Entahlah.
LR secara cermat berhasil menyuguhkan hal-hal unik
sebagaimana keberhasilan Andrea Hirata dalam tetralogi Laskar Pelangi-nya dalam
menyuguhkan hal-hal unik kampung halamannya; Belitong. LR berhasil menyajikan
mitos-mitos di masyarakat misalnya rambut belah tengah berarti plinplan atau mudah terseret arus, mitos
hari rabu sebagai hari baik bepergian, ritual absurd mengurus merpati yang ditunjukan ayah Larang, agar betah di
sangkar dll. Belum lagi karakter budaya masyarakat seperti penggantian huruf H
menjadi K, sehingga nama Bahroni dilafalkan menjadi Bakroni, Muhammad menjadi
Mukammad, dan seterusnya. Kebiasaan para pedagang di pasar yang melabeli
dagangannya agar laris dengan idiom-idiom di televisi seperti topi Tersayang,
gaun Syahrini, kelapa si Adul, dan banyak lagi. Remaja sekolah yang doyan
tawuran. Ibu-ibu pengajian yang doyan memamerkan perhiasan, dan banyak lagi.
Di beberapa bagian saya merasa dikhutbahi oleh penulis
seperti di bab 12 halaman 194-203 yang terlalu panjang membahas renungan
tentang fungsi tubuh manusia versi kajian medis. Bab 15 yang membahas tentang fungsi
sarung, atau pada halaman 255 tentang penyebab dan antisipasi kerontokan rambut.
Bab 19 adalah khutbah penulis yang paling saya tekuri mengenai keajaiban salat
dalam kajian ilmu kesehatan Cina melalui tokoh Muhammad Kong Bun yang
menjelaskan managemen waktu salat yang telah dirancang sedemikian rupa oleh
sang pencipta untuk kebutuhan manusia.
Melalui buku ini kita diajak merenungi kembali cara
keberislaman kita yang terkadang banyak diselimuti hal-hal mistis dan tercebur
ke dalam kejumudan—manut tanpa reserve atau
enggih teu manggih (iya tapi tak
tahu). LR rupanya hendak mengingatkan bahwa seabreg aktivitas keseharian kita
yang kian padat jangan sampai mengesampingkan kewajiban menunaikan ritual salat
lima waktu yang begitu luar biasa. Bahkan Rasulallah dan orang-orang saleh
mengatakan salat sebagai mikrajnya orang muslim, pilar agama. Bahkan konon salat
merupakan amal perdana yang akan dihisab di akhirat sana? Mari bertanya pada
diri masing-masing masih bolongkah salat kita? Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar