Mengarungi Samudera Agama Bersampan Sastra

  
Oleh Anas Al Lubab

Judul            : Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba
Penulis         : Emha Ainun Nadjib
Penerbit       : Mizan
Tahun           : Mei, 2016
Tebal            : 196 hlm
ISBN            : 978-979-433-923-7

Jauh-jauh hari agama telah berpesan, bagaimana cara kita untuk saling menasehati dalam mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran, melalui cara-cara terpuji. Sebagaimana tersaji dalam kitab suci, Qs Al Nahl:125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari Jalannya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Pesan kitab suci di atas, saya kira sangat pas untuk menggambarkan upaya Emha Ainun Nadjib, cendikiawan multiperan yang lebih akrab disapa Cak Nun yang menulis begitu banyak buku, baik itu naskah teater, cerpen, esai, pun puisi, yang semuanya begitu kental dinapasi oleh pesan-pesan agama yang diyakininya: Islam. Kita patut bersyukur, karya-karya penting Cak Nun yang lahir tahun 80-an, kini diterbitkan ulang secara berangsur-angsur oleh penerbit Mizan dan Bentang (yang juga lini penerbitan grup Mizan), salahsatunya Seribu Masjid Satu Jumlahnya. Yang berisi lima puluh prosa dan puisi (proisi) yang menyegarkan akal sekaligus menentramkan hati.

Salah satu kelebihan karya-karya Cak Nun adalah senantiasa relevan dipakai menjawab problematika perkembangan zaman. Di buku ini misalnya, kita diajak menyelami kedalaman agama tanpa tercebur kepada dakwah yang menggurui. Cak Nun dengan lincah merambahi berbagai tema, dari mulai sosial, politik, hukum, budaya, hingga agama bersampankan sastra. Cak Nun dengan halus menyindir para tokoh agama yang hanya pandai menyemprit umat dengan pluit fiqh oriented  sehingga wajah agama terkesan sangar, seolah tak tersisa cinta kasih, melainkan melulu perintah dan larangan yang berbuntut ganjaran dan hukuman. “…Para ulama menyuruh hamba jadi prajurit/ Kalau salah langkah berbunyi peluit/ Ya Allah Kekasih/ Kalau agama hanya berwajah fiqih/ Kepatuhan hamba terasa perih…” (hlm 12). Dalam buku ini kita akan disadarkan untuk tidak memperalat agama sekadar untuk tujuan politis apalagi melulu kepentingan pribadi, namun menyeimbangkan ritual pribadi sebagai input dengan perwujudan output kesalehan sosial.

Tak hanya melontarkan kritik dan gugatan konstruktifnya, di sekujur buku ini kerap ditemui logika-logika mencerahkan khas Cak Nun yang akan menuntun pembaca untuk kian merengkuh agama dengan suka cita. Tengok misalnya prosa berjudul Pembunuh dan Penyembelih (hal 35) yang mengajukan pertanyaan sederhana mengapa saat kita memotong hewan ternak untuk dikonsumsi, tidak divonis membunuh melainkan menyembelih, yang ditutup dengan pernyataan logis berikut “mengambil air di sumur, mengambil bebuahan di ladang, atau mengambil uang di saku: baik itu adanya. Tetapi sumur siapa, ladang siapa, dan saku siapa: itulah yang menentukan apakah kalian mengambil ataukah mencuri.

Pembaca juga diajak berdialog imajiner dengan alam; tujuh samudera, gunung-gunung, pepohonan, burung-burung, bintang-gemintang, yang berpersonifikasi menggugat penuh kegeraman kepada Tuhan atas tingkah polah manusia yang mereka nilai telah gagal disebut khalifatul ard, yang alih-alih merahmati semesta alam justru hanya pandai merayakan kerusakan dan penghancuran, dalam puisi berjudul Haru Biru Kekasihku (hlm 129)

Cak Nun pun mengajak pembaca untuk tidak berhenti menjalani agama pada terminal ritualitas belaka, melainkan mesti senantiasa mengendalikan setir, gas, dan rem, untuk merambahi berbagai laju jalan kehidupan sosial kemasyarakatan. Lihat misalnya penggalan puisinya yang berjudul Begitu Engkau Bersujud; … Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud/ setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan/ setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang/ Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk cinta kasih ke-tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara adzan. (hal 49)     
     
Buku ini, saya kira sangat berharga untuk dibaca oleh siapapun yang hendak menyelami agama dengan santai dan menyenangkan tanpa mengerutkan kening, namun menyuguhkan pemaknaan yang dalam dan mencerahkan.[]





Komentar

Postingan Populer