Dilan, Uedan!


Oleh Anas Al Lubab

Judul          : DILAN dia adalah dilanku tahun 1990
Penulis    : Pidi Baiq
Penerbit    : DAR! Mizan
Cetakan    : ke-2 2014
Jumlah     : 332 halaman
ISBN        : 978-602-7870-41-3

“Dilan, uedan!” Itulah komentar saya setelah menutup halaman terakhir ini novel. Novel yang meminjamnya saja harus sholat ashar, magrib, becanda ngobrol-ngobrol, melongo mendengar ngomong bahasa arab, dan berbuka puasa di pesantren Bayt Al Quran Cikande. Bahkan terpaksa menjawab “iya” saat disapa oleh anak santri “ustadz” (lagian bingung, diem saja dikira sombong, jawab iya, saya bukan ustadz seperti teman saya) selepas berjamaah shalat magrib.

Dari pesantren ke rumah Muhammad Sakhowi yang katanya nemu ini buku sewaktu iseng jalan-jalan ke Gramedia lalu ngasih uang ke kasir secara suka rela. Sebelum nyampe rumah Sakhowi, saya mesti ngikut berhenti di indomart dan warung sate demi memenuhi pesanan istrinya Sakhowi yang sudah menunggu-nunggu di rumahnya. Sambil ngobrol-ngobrol menunggu pesanan sate matang, saya dikasih sarung tangan (persiapan kalau jatuh katanya) hingga lupa bilang makasih (semoga Sakhowi baca ini dan tak usah komentar).

Mengikuti Sakhowi bawa motor dari belakang (kami masing-masing bawa motor) saya sempat melihat kaki Sakhowi menendang bungkusan plastik yang berada di tengah jalan hingga ke pinggir. Sungguh kakimu islami kawan. Konon menyingkirkan sesuatu yang merintangi jalan adalah bagian dari keimanan.

Dilannya mana? Kok dari tadi nggak nyambung? Oke kalau gitu, sudah kita singkat saja cerita bagaimana saya mendapatkan ini buku. Yang jelas, saya tiba pukul sepuluh malam di padarincang, melawan takut ketemu hantu besi kecil alias paku yang tak kelihatan yang membocorkan ban motor di tempat sepi dan gelap, yang kalau itu terjadi kemungkinan saya akan mendorong ngatruk (jalan kaki). Untung selamat sampai tujuan meski berkali-kali anjrug-anjrugan tak sengaja menabrak jalan berlubang lantaran poek (gelap) jika tidak ngebut.

Oke, kita kembali ke Dilan. Dilan sungguh uedan alias gila dalam arti aneh, unik, dan kreatif, persislah seperti Pidi Baiq pengarangnya yang mengaku sebagai presiden republik the panasdalam. Bahkan saya curiga, Dilan barangkali masa remaja Pidi yang Baiq semasa SMA. Novel ini mengambil setting Bandung 90-an dengan cerita umum yang digandrungi remaja kebanyakan yakni likaliku dunia percintaan. Namun, bukan Pidi Baiq namanya, jika tidak bisa membuat pembaca terpingkal-pingkal sekaligus mikir (menemukan cahaya pencerahan).

Dilan ini seorang remaja unik yang diceritakan oleh Milea yang lalu mencintainya padahal tadinya tidak. Cinta Milea ke Dilan bukan karena Dilan ganteng, pintar, banyak uang seperti banyak lelaki yang berusaha mengambil hati Milea. Melainkan karena Milea melihat bahwa Dilan sungguh-sungguh manusia. Karena begitu banyak orang dengan embel-embel ini itu yang belum tentu manusia (hal: 46)

Cerita cinta Dilan dan Milea bagi Pidi Baiq hanyalah media untuk mengkritisi keadaan saat ini dengan cara bersembunyi dibalik rimbun dialog penuh gelaktawa yang ia ciptakan. Novel ini secara tersirat mengajak kita turut merenungkan banyak hal. Misalnya menjaga kelestariaan alam yang kian digerus pembangunan gedung-gedung. Dibanyak kesempatan Pidi melalui tokoh Milea terangterangan memuji Bandung tempo dulu yang masih rindang dan asri. Mengajak para orangtua khususnya guru memahami psikologi para remaja jangan justru sebaliknya remaja yang dipaksa memahami yang lebih tua. Pidi juga mengkritik dunia pendidikan formal dalam hal ini sekolah yang masih memperlakukan muridnya bak para narapidana di penjara (melulu mengurusi sebatas leher ke atas atau kognitif semata menganaktirikan ranah apektif dan psikomotorik). Sehingga Dilan tak segan-segan melabrak seorang guru bernama Suripto yang bertindak semena-mena kepadanya sewaktu upacara bendera. Namun Dilan begitu takluk kepada Bu Rini yang memperlakukannya bak sahabat seusia.                

Sosok Dilan yang meski ikut geng motor dan sekalidua terlibat tawuran, namun ia juga remaja yang haus ilmu sehingga keranjingan membaca sekaligus penuh daya kreativitas. Bagaimana ia kenal tokoh-tokoh sastra semisal, Sutan Takdir Alisyahbana, Idrus, Iwan Simatupang, berlangganan majalah tempo, bahkan melahap habis 30 set buku Tafsir Al-Azhar Buya Hamka. Hadiah ulang tahun dari ayahnya (hal: 195). Ia bisa bikin puisi dan buat kartun yang dikirim ke koran. Ini sungguh menohok para orangtua yang kebanyakan bangga menghadiahi anaknya dengan kendaraan atau benda elektronik bukan buku-buku yang katanya gudangnya ilmu itu (mendahulukan pretise ketimbang prestasi). 

Segenap tingkahpolah Dilan dengan segala kekonyolannya sarat kritik untuk memantik kesadaran kita. Dilan tidak segan-segan mendobrak kemapanan. Ia sama sekali tidak takut diskorsing dan dikeluarkan dari sekolah selama membela yang ia yakini kebenarannya. Sementara kita kerap mengkeret dan tanpa merasa bersalah mau santai berdamai dengan ketidakbenaran lantaran takut akan menerima kerugian diri sendiri. Dilan juga sangat egaliter dan memanusiakan manusia. ia begitu akrab dengan banyak orang, cuek membawa nenek-nenek tukang pijat saat mengetahui Milea kekasihnya tengah sakit. Atau mengirimi cokelat lewat kurir-kurir yang tak biasa yang membuat Milea merasa (meminjam istilah Pidi Baiq) semua orang bersekongkol dengan Dilan untuk membahagiakan Milea.

Saat remaja lain mendekati Milea dengan memberikan kado boneka pada ulangtahun Milea. Dilan justru memberikan buku TTS yang sudah diisi semua pula, biar Milea tidak pusing mengisinya katanya. Begini tulisan lengkapnya di halaman 72;
SELAMAT ULANG TAHUN, MILEA
INI HADIAH UNTUKMU, CUMA TTS.
TAPI SUDAH KUISI SEMUA.
AKU SAYANG KAMU
AKU TIDAK MAU KAMU PUSING
KARENA HARUS MENGISINYA.
DILAN!
Masih banyak hal-hal sederhana sarat ide dari Dilan yang selalu berhasil membuat Milea tersenyum bahagia karenanya.

Sudah segitu saja ya. Jika pengen tahu detil alur ceritanya, ya baca saja sendiri sambil ngabuburit. Bisa beli atau pinjem seperti saya. Pokoknya “Dilan, uedan” anjriiit alias keren banget. Tidak menyesal saya meminjamnya jauh-jauh angkleung-angkleungan dari Padarincang ke Cikande hingga mesti tiba di rumah mertua larut malam. Saya anjurkan anda membacanya sendiri pasti anda tak akan menyebut saya penipu, suer. Karena sungguh saat membacanya sehari setengah, saya pun kerap terpingkal-pingkal sendirian karenanya, yang membuat istri saya jadi memiringkan telunjuk dijidatnya entah maksudnya apa. Nuhun kang Pidi yang Baiq. Wallahu a’lam.     

 

Komentar

Postingan Populer