Ketika Pernikahan dikuasai Adat

Anas Al Lubab

Judul        : Memang Jodoh
Penulis    : Marah Rusli
Penerbit    : Qanita
Cetakan    : Cet-1 (2013)
Tebal        : 535

Setelah rampung melahap sajian novel Memang Jodoh karya Marah Rusli, saya teringat dengan petuah pendahulu kita yang menyatakan bahwa “Jodoh, kematian, kebahagiaan, kecelakaan telah digariskan oleh keputusan Tuhan”, sehingga kita hanya bisa legowo menerimanya tanpa berkuasa menolak atau mengubah keputusan-Nya. Benarkah demikian? Ada baiknya kita sama-sama merenungkan cerita yang Marah Rusli karang ini.  

Penulis roman Sitti Nurbaya ini rupanya selalu resah menengok kenyataan sosial kepatuhan kepada adat istiadat yang ia nilai telah melanggengkan kejumudan atau keterbelakangan. dengan piawai ia memberontak terhadap kungkungan adat pernikahan di Padang. Jika dalam Sitti Nurbaya Marah Rusli memotret budaya atau adat bagaimana kekuasaan—harta dan tahta—telah merenggut hak asasi perempuan sehingga mesti “dijual” demi melunasi hutang-hutang orangtuanya, rupanya ia belum puas meneguhkan sikap pemberontakannya terhadap kungkungan adat yang ia nilai mengerangkeng intelektual dan hak-hak kemanusiaan sehingga ia merasa perlu menulis novel Memang Jodoh yang ia pungut dari pengalaman pernikahannya bersama istrinya.
Menurut pengakuan cucunya—Rully Roesli—dalam pengantar buku ini, novel ini sebenarnya telah rampung ditulis oleh Marah Rusli sekitar 50 tahun yang lalu sekitar tahun 1960. Namun karena sikap santun Marah Rusli yang tidak ingin menyinggung hati saudara-saudaranya yang masuk sebagai tokoh dalam bukunya ini, ia sengaja berwasiat kepada para cucunya agar bersabar menunda penerbitan novel tersebut hingga orang-orang yang berpotensi tersinggung atau tersakiti berpulang terlebih dahulu. Suatu sikap bijak dan keteguhan sikap yang patut kita teladani.

Secara garis besar, novel ini hendak menggugat adat Padang yang mengatur ketat pernikahan sedemikian rupa sehingga dinilai oleh Marah Rusli bukan saja telah melanggar kebebasan hak individu bahkan berpotensi mengarah kepada kemunduran dan hilangnya peradaban negeri yang melahirkannya tersebut.

Novel semiautobiografi ini dengan kuat menunjukkan keteguhan sikap Marah Rusli dalam mempertahankan keyakinannya dalam menggenggam janji setia pernikahan terhadap istrinya. Sehingga sehebat apapun aral melintang yang dilancarkan oleh orang-orang yang memaksanya agar manut mematuhi adat pernikahan Padang yang melegalkan dan menganggap sebagai suatu kehormatan atas budaya poligami, sekeras apapun selalu mampu ia tolak, meski harus dibayar dengan pembuangan dirinya dari ranah kelahirannya lantaran sudah berani menikahi perempuan di luar Padang yang kadung tidak diterima dan dinilai sebagai tindakan menentang sekaligus mencoreng adat.  

Tokoh sentral cerita ini adalah Marah Hamli—representasi Marah Rusli—dan Din Wati—istrinya, sepasang suami istri berbeda daerah ini seolah tiada henti dirundung guncangan rumah tangga. Terutama yang dilancarkan oleh pihak keluarga besar tanah kelahiran Hamli. Hamli yang berasal dari keturunan bangsawan Padang semestinya menikah dengan perempuan setempat. Dan praktek poligami dinilai sebagai suatu kehormatan.

Setelah lulus di Sekolah Raja atau Kweekschool—sebuah sekolah Eropa ternama di Sumatera yang ada di bukittinggi pada zaman kolonial yang berdiri tahun 1872 yang sebelumnya bernama Noormaalshool 1856—Hamli berencana meneruskan pendidikan ke Belanda, sayang adat ditempat kelahirannya tidak mengizinkan untuk melanjutkan pendidikan keluar daerah, apalagi ke negeri Belanda. Namun bukan Hamli jika tidak kokoh menggenggam keinginannya.

Meski ia tidak jadi studi ke negeri Belanda, ia tetap memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya menuju Bogor demi memenuhi haus dahaga intelektualnya. Dari sinilah cibiran masyarakat yang gerah atas sikapnya dimulai. Dan dirantau inilah Hamli mendapat guncangan spiritual seolah ada kekuatan gaib yang menyeretnya untuk segera menemukan pendamping hidup hingga bertemu dengan Din Wati.

Pun dengan Din Wati, meski telah banyak lelaki yang datang untuk melamar ia tetap tidak sreg. Ia menanti kebenaran ramalan guru spiritual ayahnya yang menyatakan bahwa jodohnya berasal dari negeri sebrang. Keyakinan Din Wati semakin kuat ketika peramal yang menelisik peruntungan jodohnya berkali-kali menemukan bukti bahwa jodohnya memang berasal dari ranah sebrang.

Akhirnya keduanya menikah tanpa mengabari keluarga besar Hamli yang ada di Padang. Dari sini orang-orang yang hendak menghancurkan pernikahan keduanya seolah tiada kenal lelah. Beberapa kali Hamli dilamar oleh orangtua perempuan asal padang agar sudi menikah lagi dengan anak perempuannya. Berpoligami atau memiliki banyak istri dinilai sebagai simbol kekuasaan dan kehormatan keturunan. Namun hati Hamli tak pernah goyah, ia tetap teguh kepada komitmennya yang hanya akan beristrikan Din Wati.

Ada adegan lucu sekaligus kritis yang diperankan Hamli ketika menghadapi tetua adat yang memaksanya agar menikah dengan perempuan Padang mana saja yang Hamli sukai. karena jengkel, Hamli menyampaikan kesanggupannya dengan satu syarat ingin berbincang terlebih dahulu dengan calon pengantin perempuannya. Awalnya tetua adat hendak menyetujui agar Hamli segera bisa mewujudkan harapannya. Namun alangkah kecelenya orang-orang yang hadir, karena Hamli mengaku akan berbicara kepada siperempuan mau atau tidak menikah dengannya setelah itu Hamli akan menceraikannya dengan talak ke-3 sekaligus—hal ini Hamli lakukan setelah mendengar pernyataan tetua adat yang mengatakan kepada Hamli, bahwa sebagaimana diperbolehkannya menikahi banyak perempuan. Lelaki Padang pun diperbolehkan menceraikan perempuan yang telah dinikahinya kapan ia mau.                       

Akan banyak lagi kisah-kisah mengharukan yang ditunjukan oleh Hamli dan Din Wati dalam upaya mempertahankan keutuhan rumahtangganya. Din Wati yang selalu mendapat godaan dan hinaan dari lelaki yang menginginkannya tidak pernah sampai hati memberi kabar-kabar buruk yang akan merisaukan hati suaminya. Pun begitu dengan Hamli dengan penuh keberanian ia tidak segan-segan membela istrinya mesti dengan resiko dikucilkan oleh keluarga besar di tanah kelahirannya. Hamli selalu berhasil menolak berbagai pinangan dari orangtua perempuan padang yang menginginkannya menjadi menantu. Hampir di setiap tempat penugasan sebagai penyuluh pertanian Hamli selalu mengalami godaan ini—fitnah, konpirasi, demi menceraiberaikan rumahtangganya.

Kisah mereka menjadi khazanah berharga bagi segenap keluarga. Yang akan mengajari kita tentang kesetiaan, saling menjaga pasangan. Dan keteguhan sikap. Novel pamungkas Marah Rusli ini dibumbui oleh cerita-cerita mistis-religius khas tasawuf nasqbandiyah. Tentang khidmat kepada mursyid atau guru spiritual yang ditunjukkan oleh orangtua Din Wati. Tentang reinkarnasi; bagaimana guru spiritual bapaknya Din Wati yang telah meninggal dipercaya menitis kepada buah hati Din Wati dan Hamli. Sehingga mesti anak Din Wati dan Hamli buruk rupa ayah Din Wati begitu khidmat menjaganya karena ia yakin bahwa cucunya tersebut penjelmaan gurunya. Ajaib setelah besar anak yang tadinya kulitnya bersisik dengan kepala berundak-undak menjadi anak molek setelah dewasa.

Mengenai keajaiban itu Ada adagium yang beredar di kampung saya, bahwa jika anak terlahir buruk rupa kelak beranjak dewasa akan berubah menjadi cakep, sebaliknya jika anak terlahir cakep nanti setelah dewasa justru akan jelek. Mesti kenyataan ini jarang terjadi, ini mengajarkan filosofi kepada para orangtua bagaimana bersikap agar tidak berputusasa atau malu dianugerahi anak yang terlahir membawa kekurangan dan tidak lantas sombong jika dianugerahi anak yang cakep. Inti terpenting bagaimana kita bisa mendidik anak tersebut agar tidak tersesat dari jalan Allah.

Kita pun akan mendapati renungan-renungan kematian yang dipikirkan Hamli—sebagai representasi kematangan religius Marah Rusli. Dengan cerdas dan filosofis melalui tokoh Hamli, Marah Rusli menyampaikan renungannya tentang hakikat kematian yang menurutnya sebagai suatu situasi perubahan menuju kesejatian hidup—kembali ke muasal. Ibarat es yang bermetamorfosis menjadi air, uap, dan udara yang berlainan sifatnya namun hakikat zatnya sama, pun begitu perjalanan manusia semenjak lahir hingga melewati gerbang kematian untuk kembali kepada Tuhan (Lih 413). 

Kehadiran novel yang selama 50 tahun terpendam ini, semoga menjadi khazanah berharga sebagai ruang tamasya mengenang perkembangan bahasa pengarang tempo dulu, sekaligus menatap kebijakan kisah masa silam sebagai bahan renungan dan pelajaran. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan Populer