Menulis Butuh Keberanian

Oleh Anas Al Lubab

Judul             : Jadi Penulis? Siapa Takut! : Arahan Mudah Menulis Berita, Puisi, Prosa, dan Drama dalam Bahasa Indonesia yang Pas
Penulis           : Alif Danya Munsyi
Penerbit         : Kaifa, Bandung
Cetakan         : Maret 2012
Tebal             : vi+270 Halaman

Sebelum membaca buku ini, Awalnya saya mengira buku ini semacam buku otobiografi kepenulisan seperti yang pernah ditempuh oleh Stephen King dengan “On Writing”nya, atau Sidney Sheldon dengan The Other Side of Me”nya. Ternyata sangat berbeda. Dalam buku teranyarnya ini Alif seakan berusaha menumpahkan segenap khazanah ilmu kepenulisan yang bercokol di kepalanya. Sehingga ketika membacanya, saya seakan ikut mencicipi ribuan buku yang pernah dilahapnya. Dengan tampilan paragraf yang dirancang berbeda dari buku pada umumnya dimana setiap paragraf disusun berdasarkan penomoran. Hal tersebut mungkin sengaja dilakukan Alif untuk memudahkan sistem perujukan karena tak jarang dalam menyampaikan tulisannya ini Alif kerap merujuk ke halaman atau bab sebelumnya yang tentu masih berjalinkelindan. Juga terdapat ilustrasi karikatur di setiap babnya, yang memvisualiasikan proses kreatif Alif dalam menulis.

Satu hal penting yang saya tangkap dari tulisan Alif adalah petuahnya untuk menjadikan aktivitas membaca sebagai proses belajar. Seakan ia hendak menyindir kita yang kerap gerasa gerusu dalam menggapai sesuatu tanpa mau bersabar menempuh proses. Segalanya ingin serba instan sehingga membaca pun malas-malasan. Jika kita ingin mampu atau bisa menulis berbagai genre tulisan apapun baik itu cerpen, puisi, berita, kritik, drama, belajarlah terlebih dahulu pada ahlinya dengan rajin membacai karya-karya mereka yang telah mendapat pengakuan khalayak semisal para peraih nobel atau kepada para penulis yang telah menyebarkan tulisannya di media massa. Walaupun begitu Alif bukanlah orang yang congkak. Penguasaan berbagai bahasa—Aksara Arab, Cina, Yunani, Ibrani—dan khazanah bacaannya yang melimpah tidak lantas membuatnya meremehkan tulisan anak kecil sekalipun. Dalam bukunya ini ia mengutip dan mengulas puisi-puisi anak SD yang mungkin selama ini hanya kita pandang dengan mata terpicing atau sebelah mata. Bahkan ia membahas sms ucapan ulangtahun.

Seorang penulis besar seperti Alif ternyata begitu rajin melakukan dokumentasi karya-karya orang lain yang ia kliping. Hal itu bisa kita temukan dihampir setiap contoh bahasan dalam buku ini. Berbagai tulisan dari buku dan Koran baik local maupun nasional dengan tahun terbit dulu hingga sekarang begitu rapih ia kumpulkan.    


Empat hal yang ditawarkan Alif kepada siapapun yang hendak memasuki ranah tulis-menulis dalam bukunya ini tersampaikan pada empat bab awal. Yakni anjuran membaca, mengetahui kebudayaan menulis, pemahaman kata-kata, dan pentingnya membaca terjemahan. 
    
Pertama anjuran membaca. Di bab Membaca adalah Belajar halaman 7 paragraf 36 Alif menulis bahwa ketika kita bertekad hendak menjadi penulis, pada saat itu kita mesti sudah bebas dari masalah membaca. Kebebasan membaca bukan sekadar bebas buta huruf. Bebas membaca ditentukan oleh kemauan yang tanpa ragu memilih bacaan dan menyerapnya sebagai pengetahuan yang menguatkan harkat kemanusiaan kita di tatanan kebudayaan modern ini.

Aktivitas membaca bagi penulis mau tidak mau merupakan kewajiban karena menulis merupakan pekerjaan yang berurusan dengan kelincahan berbahasa. Bagaimana mungkin kita mampu menyampai sesuatu melalui tulisan yang kita sajikan jika pembendaharaan kata atau bahasa yang kita punyai masih terbatas. Bagi mereka yang memilih terjun di ranah kepenulisan tentu mafhum bahwa seorang penulis bukan saja dipaksa untuk bisa mengungkap hal-hal secara tertulis tetapi juga mesti setidaknya menguasai berbagai macam disiplin ilmu yang berkaitan dengan apa yang hendak ia tulis. Seorang penulis tentu tak ingin tulisannya hanya dianggap sebagai bualan lantaran tidak menguasai persoalan. Itulah mengapa membaca menjadi suatu kemestian.  
 
Kedua budaya menulis. Di sini Alif menyajikan perangkat-perangkat yang harus dimiliki seseorang yang hendak menjadi penulis. Misalnya kepekaan untuk mau mempertanyakan hal-hal yang kadung dianggap umum, memiliki berbagai kamus, dari kamus berbagai bahasa hingga kamus padanan kata atau tesaurus.

Ketiga pemahaman kata-kata. Alif bukan saja berbicara tentang EyD ia menyajikan berbagai temuan dalam kerancuan berbahasa dalam hal ini bahasa luar yang diserap secara serampangan ke dalam bahasa Indonesia. Alif mengusulkan apa yang ia sebut transkreasi yakni proses penyerapan kata atau bahasa berdasarkan makna bukan translasi yang hanya berkutat secara harafiah—berdasarkan huruf.
 
Keempat membaca terjemahan. Alasan Alif menganjurkan membaca karya terjemahan sederhana. Kita tahu bahwa peradaban bangsa Barat dalam dunia tulis menulis telah jauh melampaui kita. Jika bangsa lain telah terbiasa berpikir atau berbahasa deskriptif melalui lisan atau pun tulisan kita kerap mengungkapkan sesuatu dengan remang penuh ketidakjelasan. Di bab Membaca Terjemahan halaman 42 paragraf 6 Alif menulis bahwa tidak terlatihnya kita berbahasa deskriptif membuat kita sering tidak memiliki ketegasan dalam mengungkapkan apa yang tengah kita pikirkan atau rasakan. Coba kita simak cerita berikut ini:

Tersebutlah Anu yang sudah menonton film, ditanya oleh Polan yang belum menontonnya.
“Apakah kamu sudah menonton film itu?” Tanya Polan
“Sudah,” jawab Anu.
Tanya Polan “Bagaimana pendapatmu?”
Jawab Anu, “Wah, bagaimana ya? Pokoknya bagaimanaaa gitu.”

Intonasi “bagaimana” ditekan sedemikian rupa agar terkesan hebat. Jawaban begini contoh dari kebiasaan kita yang umumnya tidak pandai membuat deskripsi, sekaligus tidak tegas menyatakan atau merepresentasikan secara detail akan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan kita dengan kata-kata yang semestinya.    

Begitu banyak petuah praktis yang bisa menginspirasi siapapun yang hendak menerjunkan diri menggeluti dunia tulis-menulis. Modal pertamanya yakni berani, berani belajar dan menempa diri. Wallahu a’lam

Komentar

Postingan Populer