Membaca Kepekaan Hati Hanna Fransisca
Judul : Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina
Penulis : Hanna Fransisca
Penerbit : Komodo Books
Cetakan : 1 Mei 2012
Tebal : 140 Halaman
Seorang
penulis akan mengubah kegelisahan dan ketimpangan yang terjadi di depan matanya
sebagai inspirasi bagi karyanya. Bagi penyair kegelisahan itu di konversi
menjadi puisi, bagi cerpenis berbuah jalinan cerita, bagi esais mewujud esai.
Dan ada peristiwa kegelisahan yang tidak bisa dituangkan ke dalam satu bentuk
tulisan. Ada yang lebih pas dirangkai menjadi puisi, ada juga yang lebih sreg dituangkan ke dalam bentuk cerpen.
Begitulah yang dialami Hanna Fransisca, sebagai penyair ia mengaku ada hal-hal
yang sulit (baca; tidak leluasa) ia ungkapkan melalui puisi dan lebih enak memilih
jalan cerpen. Ke-9 cerpen yang dituangkan di buku ini merupakan tanggapan Hanna
terhadap realitas sosial yang ia rasa tidak bisa (kurang sreg) dituangkan dalam bentuk kepadatan kata seperti dalam puisi
dan lebih tuntas jika dituangkan dalam keleluasaan kata sebagaimana yang
diizinkan cerpen.
Dari ke-9
cerita ini kita bisa menangkap kepekaan hati seorang Hanna yang memilih
keberpihakannya kepada orang-orang terpinggirkan. Walaupun begitu ia mampu
bercerita secara memikat dan objektif tanpa terjebak kepada opini subjektif.
Hanna mewarnai ceritanya dengan hal-hal yang paling dekat dengan dirinya.
Budaya dan pernak-pernik kehidupan sosial warga Tionghoa, rutinitas kehidupan
pasar yang mungkin sering ia amati, penggusuran lahan atas nama pembangunan
yang kerap memicu percik kerusuhan, konflik etnik para pedagang kaki lima.
Hingga empatinya terhadap nasib orang gila. Dan persoalan khas negeri Indonesia
lainnya.
Hanna juga
mempertanyakan praktik ritual budaya semisal keluarga duka yang kerap menyewa tukang
ratap yang menjual airmata palsu demi menangisi jenazah agar dipandang sebagai orang
baik seperti dalam cerpen Kungkung yang
bercerita tentang dua ahli waris yang memperebutkan cara memperlakukan penghormatan
terakhir terhadap jenazah kakeknya, satu pihak ingin mewah pihak yang lain ingin
sederhana. Penggusuran lahan pekuburan cina dengan dalih pembangunan kota dalam
cerpen kuburan kota bunga, birokrasi
yang jelimet dalam Aroma Terasi bercerita tentang pengurusan paspor, cinta segi tiga dan
persyaratan yang diajukan seorang istri sebelum di cerai suaminya yang meminta
dibopong dari kamar tidur ke meja makan selama 30 hari dalam cerpen Sedap Malam, sengketa lahan para petani dengan pemerintah yang dipaksa
pergi meninggalkan lahan yang telah bertahun-tahun di garap dengan tuduhan
melakukan pembunuhan gajah dalam Sulaiman
Pergi ke Tanjung Cina. Lelaki tua yang kesepian lantaran
di tinggal istri yang menyusul putrinya yang dinikahi lelaki Taiwan dalam Sembahyang Makan Malam. Hilangnya
hati nurani hingga main hakim sendiri hanya gara-gara secangkir kopi dan lebih
menghamba kepada televisi dalam Tamu di Tengah
Hujan. Bentrok etnis pedagang dalam Pasar Bojong, Hantu Hari Raya
bercerita tentang seorang cucu yang kerap dikunjungi oleh arwah kakeknya yang
telah meninggal dan dari cerita kakeknya inilah ia mengetahui cerita tentang
kehidupan sosial keluarganya.
Di antara
ke-9 cerpen Hanna, Saya paling menikmati suguhan cerpen Hanna yang terakhir
berjudul Tamu di Tengah Hujan. Yang bercerita tentang seorang
perempuan yang menunggu mobil jemputan pulang di muka sebuah gardu yang diisi
oleh orang-orang yang sedang ngobrol sambil menonton berita di televisi dan
menyaksikan orang gila yang makan dari mengorek nasi sisa di tumpukan sampah
tak jauh dari gardu. Lalu setelah makan dengan lahap orang gila tersebut menyerobot
masuk ke tengah kerumunan orang yang tengah berkumpul di gardu dan menenggak
secangkir kopi tanpa permisi. Si pemilik kopi dan orang-orang yang ada disitu berang
lalu memukuli dan mengusir orang gila tersebut hingga babak belur. Perempuan
itu hanya bisa diam terpaku tanpa bisa membantu.
Sebelum pergi,
perempuan itu sempat mendengar rencana orang-orang di gardu yang akan
menggalang dana untuk membantu korban tsunami yang diberitakan di televisi.
Dalam hatinya perempuan itu bergumam mau menolong korban tsunami sementara
gara-gara secangkir kopi kehilangan hati nurani. Begitu tiba di rumah perempuan
itu terhenyak mendapati orang gila yang barusan di keroyok warga di gardu telah
meringkuk menggigil berlindung dari deras hujan di depan rumahnya. Tiba-tiba
rasa iba mendera perempuan itu. Ia pun menyuruh pembantunya memberikan sekotak
nasi kepada orang gila tersebut lantaran ia sendiri ketakutan memberikannya.
Namun orang gila tersebut menepis pemberian tersebut dan memilih berlari pergi.
Melalui
cerpen ini Hanna mampu berbicara banyak hal diantaranya tentang merosotnya
jaminan sosial, lemahnya penegakan hukum, dan politik media dalam hal ini
televisi. Keberadaan orang gila merupakan dampak nyata dari ketidakseriusan
pemerintah dalam memberikan jaminan sosial terhadap rakyatnya. Sudah menjadi
rahasia umum apabila orang-orang gila diangkut dan dibuang ke daerah lain tanpa
ada yang mengurusi. Lemahnya penegakan hukum dalam menjamin hak asasi manusia
telah memicu banyak orang berani melakukan tindakan main hakim sendiri tanpa
takut dijerat hukum sebagaimana orang-orang di gardu yang rela menggeroyok
orang gila hanya gara-gara secangkir kopi. Sementara politik media telah
menjadi religi yang kita imani dan amini. Hampir segala nilai kehidupan ini
kita merujuk kepada apa yang difatwakan oleh media. Kini kita lebih tergerak
melakukan kebajikan lantaran seruan televisi ketimbang wejangan kyai atau
petuah kitab suci. Hingga wajar apabila banyak orang yang berebut mengiklankan
citra diri di televisi agar merebut banyak simpatik sebagaimana politisi
selebriti yang ujung-ujungnya berbaiat menjadi jamaah koruptoriyah.
Banyak hal
yang bisa kita renungi dari ke-9 cerpen yang disajikan Hanna. Ia mengajak kita
merenungi sendiri persoalan yang bersliweran
di hadapan kita. Hanna cukup rendah hati untuk tidak menggurui pembaca dengan
memberikan konklusi harus begini atau begitu, menyalahkan si tokoh ini atau
menghakimi si tokoh itu di setiap cerpennya. Seolah ia ingin mengatakan
beginilah cerita yang terjadi sebenarnya terserah anda bagaimana memaknainya.
Ada dua
kesalahan ketik yang mesti saya sampaikan yang mungkin luput dari amatan editor
buku ini. Kata gentayangan tertulis gentanyangan di halaman 26, dan kata knalpot tertulis kanlpot di halaman 131.
Terakhir saya
ingin menyampaikan apresiasi saya terhadap ke-9 cerpen Hanna ini dengan
meminjam perkataan Danarto sebagai pengantar kumpulan cerpen ini yang
mengatakan “Tema dan jalan cerita bukanlah yang terpenting. Yang paling utama
dari cerpen adalah cara bertutur yang memikat. Di tangan Hanna semua persoalan
penting dituturkan dengan cara yang anggun dan sangat memikat.” Wallahu a’lam.
unsur unityne
BalasHapus