Islam dalam Filosofi Lima Ruas Jari
Islam dalam Filosofi Lima Ruas Jari
Oleh Anas Al Lubab
Judul Buku : Islam Alternatif : Ceramah-ceramah di Kampus
Penulis : Jalaluddin Rakhmat
Penerbit : Mizan
Cetakan : xi (September 2003)
Jumlah halaman : 296 Halaman
Buku ini saya beli pada 1 Maret 2004 (setiap membeli
buku, saya akan mencatat titi mangsa pembeliannya). Meski waktu itu belum
terlalu paham terhadap isinya, namun buku ini turut menyeret saya untuk memburu
buku-buku kang Jalal yang lain. Alasannya sederhana, tulisan kang Jalal selain
diksinya enak dibaca, pragmen kisah-kisahnya pun selalu menyentuh hati.
Meskipun beliau kerap merimbuni sekujur teks yang ia buat dengan mengutip pendapat,
nama-nama tokoh Timur maupun Barat, dengan referensi ketat, tak lantas membuat
kening kita terlipat.
Buku Islam Alternatif ini pula yang menyeret saya kuyup ke pusaran telaga tasawuf lewat pencarian buku-buku serupa. Melalui lima bab dalam buku ini, kita diketuk untuk membuka mata dan empati terhadap saudara-saudara kita kaum mustadhafin; terpinggirkan. Kang Jalal seakan berupaya menyeimbangkan tawaran kesalehan sosial di tengah kecenderungan aspek ritual artifisial. Pemilahan judul di atas bukan tanpa alasan, hal itu segendang sepenarian dengan lima bab besar yang kang Jalal susun di buku ini. Meskipun hal ini tentu berdasarkan penilaian subjektif saya semata.
Pertama, sebagai ibu jari atau ibu
informasi, kang Jalal memilih informasi yang bersifat umum sebagai bahan
pijakan kita menjelajahi bab-bab berikutnya; Islam Rahmat bagi Alam. Empat tulisan di bab awal ini, mengajak
kita menginstrospeksi sikap keberagamaan kita selama ini, apakah cenderung
intrinsik atau ekstrinsik. Jika instrinsik, memosisikan agama sebagai sumber
pengatur total seluruh dimensi kehidupan seseorang, yang karenanya mentalnya
menjadi sehat dan membawa keberkahan bagi sekelilingnya, ekstrinsik hanya
menjadikan agama sebagai kuda tunggangan untuk memenuhi motif-motif nafsu
pribadi semata. (hal. 26).
Contoh teranyar saat ini misalnya, di tengah upaya bersama kita yang tengah kelimpungan tersapu badai tsunami corona, ada saja orang-orang yang mencibir laki-laki yang menunda shalat berjamaah di masjid sebagai kurang iman dsb. Ibadah masih dipahami melulu aspek ritual, kurang peduli terhadap keamanan dan ketertiban sosial. Di buku ini kang Jalal membeberkan setidaknya 5 alasan kalau aspek sosial dalam Islam mendapat proporsi jauh lebih besar ketimbang aspek ritual. Sebagai contoh; Bila urusan ritual berbarengan dengan urusan sosial, ibadah ritual bisa dipersingkat atau ditangguhkan (misalnya imam mempercepat salat jamaah tatkala mendengar anak kecil menangis). Bila ibadah ritual udzur dilaksanakan, kifaratnya adalah melalukan muamalat semisal memberi makan orang miskin, dst (hal. 48-52)
Kedua, jari telunjuk sebagai simbol
perintah, kang Jalal memberi judul Islam
Pembebas Mustadh’afin. Di bab ini,
ia membeberkan pelbagai pandangan para tokoh terhadap kemiskinan yang secara
garis besar terbagi dua. Pertama
pemiskinan atau kemiskinan terstruktur karena adanya pengisapan dan pembiaran
sistem kekuasaan (YB Mangunwijaya), kedua,
miskin karena memang mental individu simiskin itu sendiri yang diwariskan
(Satjipto Rahardjo) (hal. 92). Tidak lupa kang Jalal pun menawarkan
solusi-solusi para tokoh lintas disiplin dalam mengupayakan pengentasan
kemiskinan tersebut. Saking buruknya kemiskinan hingga Ali bin Abi Thalib
seperti dikutip kang Jalal, menyatakan “Seandainya kemiskinan mewujud manusia,
maka aku akan membunuhnya”.
Di bab dua ini pula kita diajak
merenungi kekeliruan pemikiran modern yang mengkambinghitamkan pelaku sufisme
sebagai biang kerok lestarinya kemiskinan. (hal. 95) sekaligus membeberkan
nilai-nilai sufisme yang bisa kita pakai untuk mengentaskan kemiskinan (hal.
98-102). Juga menunjukkan ironisme kenyataan sosial di negara-negara muslim
yang dijerat kemiskinan dan keterbelakangan, sementara penguasanya bergelimang
kemewahan. (hal.103)
Ketiga, Islam dan Pembinaan Masyarakat. Bagian ketiga ini sengaja di
tempatkan di jari tengah, sebagai simbol kewajiban kita terjun langsung di
tengah-tengah lingkungan masyarakat. Dalam hal ini kang Jalal tidak saja men-jlentreh-kan pelbagai konsep dakwah yang
bisa dilakukan (dari konsep tilawah, tazkiyah, ta’lim, hingga ishlah)
(hal. 118- 119). Kang Jalal menekankan pentingnya pembinaan keluarga, atau peran
penting wanita sebagai muara atau awal pembinaan lingkup terkecil, yang ia
bahas dengan tinjauan sosiologis yang logis dan komprehensif.
Pada bagian ketiga ini secara khusus
kang Jalal mengkaji busana muslimah berdasarkan tinjauan psikologi sosial. Menurutnya,
pakaian yang kita kenakan turut memengaruhi prilaku kita. Bagaimana ia
mencontohkan seorang ABRI yang memakai seragam loreng lengkap dengan pakaian
biasa sikapnya akan berbeda. (hal. 142). Sayang ia melupakan kenyataan hari ini,
dimana pakaian terkadang hanya dijadikan topeng atau alat pencitraan terutama
menjelang pemilu dari pilpres hingga pilkades.
Keempat, Islam dan Ilmu Pengetahuan. Bagian keempat ini di tempatkan di jari
manis sebagai simbol cincin kehormatan seorang muslim. Kang Jalal meneroka
kaitan Islam dengan sains dan teknologi, peranan etika sebagai pengontrol sains
dan teknologi, hingga filsafat Islam serta upaya-upaya menjawab tantangan
modernisasi, dan tanggungjawab moral seorang muslim yang dikatakan sebagai
ulul-albab (hal. 211).
Di bab keempat ini dijelaskan
pencapaian-pencapaian luarbiasa sains dan teknologi yang terkadang berbenturan
dengan etika keagamaan. Misalnya ia mencontohkan inseminasi artifisial (pengawetan
sperma). Bagaimana jika seorang suami menyimpan spermanya di bank pada usia
muda, kemudian baru menggunakannya pada istrinya bertahun-tahun kemudian
setelah sisuami meninggal. Jika terjadi kehamilan pada siistri bagaimana
kedudukan sianak? (hal. 151), masalah pencangkokan ovum pada wanita lain (ovarian transplant), dan banyak lagi penemuan yang saat ini tentu lebih
canggih ketimbang saat kang jalal menulis buku ini. Kang jalal dengan jernih
memberikan pelbagai pandangan Islam vs sains dan teknologi yang membuka
cakrawala berpikir kita agar tidak larut dalam kejumudan.
Kelima, Islam Mazhab Syi'ah di posisi cinggir atau kelingking. Disamping
menyuguhkan penjelasan singkat mazhab Syi’ah yang kerap disalahpahami dan
dibenturkan dengan Sunni. Kang Jalal membuka wawasan kita akan muasal
terjadinya ragam perbedaan yang alih-alih menjadi sumber perpecahan dan laknat,
justru bisa kita syukuri sebagai sumber limpahan nikmat sekaligus rahmat.
Kenapa hal ini ditempatkan di akhir alias cinggir
atau kelingking, seakan kang Jalal ingin menyatakan bahwa perbedaan semestinya
menjadi hal kecil yang tak perlu menjadi bahan perdebatan apalagi hingga memicu
perpecahan dan konflik sosial. Ia mencontohkan keteladanan para Imam Mahzab,
bagaimana Imam Syafi’i tidak qunut saat shalat subuh di dekat kuburan Imam Abu
Hanifah yang tidak mensunahkan qunut (hal.241). Serta banyak lagi contoh
toleransi yang ditunjukkan oleh para Imam yang kerap menjadi bahan perdebatan
hingga pertengkaran bagi kita orang awam
Buku ini menjadi salahsatu warisan
berharga dari almarhum kang Jalal yang bisa kita baca dan amalkan, yang akan
senantiasa mengucurkan pahala jariah bagi almarhum. Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar