Menyelami Pesan Buya di balik film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck


Oleh Anas Al Lubab
Sutradara      : Sunil Soraya
Produser       : Sunil Soraya
Pemain         : Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian, Jajang C. Noer, Ninik L. Karim
Genre            : Drama, Sejarah
Rilis Perdana  : 19 Desember 2013
Studio            : Soraya Intercine Films

Mengisi waktu libur, saya diajak istri dan teman-teman guru di sekolahnya menonton film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck—selanjutnya saya singkat TKVW—di bioskop XXI Cilegon. Sebelum memesan tiket, saya sempat dibuat bingung antara memilih film Soekarno atau TKVW. Keduanya membuat saya penasaran. Demi kebersamaan, akhirnya saya memutuskan mengikuti pilihan istri dan teman-temannya yang memilih film TKVW.

Sebagai penikmat film kami patut bersyukur atas trend perfilman Indonesia yang mulai memfilmkan cerita-cerita yang diadaptasi dari buku atau novel. Baru-baru ini bermunculan judul-judul yang diadaptasi dari buku, semisal Sokola Rimba, 99 Cahaya di Langit Eropa, TKVW, Edensor, dan saya yakin ke depan akan ada lagi film-film yang diadaptasi dari buku lainnya.   

Sebelum menonton film TKVW saya sedikit menyesal lantaran belum sempat membaca bukunya, sehingga tidak bisa membandingkan dengan filmnya. Meski begitu, saya sangat menikmati film yang disutradarai oleh Sunil Soraya ini. Kasih tak sampai Zainudin—berdarah Minang-Bugis—dan Hayati—keturunan Minang Tulen—yang diperankan Herjunot Ali dan Pevita Pearce cukup berhasil mengaduk-ngaduk perasaan saya selaku penonton, meskipun sedikit terganggu dan jengkel oleh riuhtawa sebagian penonton remaja yang alih-alih hanyut bersedih, justru menganggap lucu mimik wajah Herjunot Ali yang menyang-menyong saat mengekspresikan ratap kesedihannya dikhianati Hayati yang memilih menerima lamaran Aziz—yang diperankan dengan luwes oleh Reza Rahadian—mengkhianati janji setianya di pinggir danau sebelum berpisah dengan Zainuddin yang terusir aturan adat.

Dari film ini, saya bisa menyimak bagaimana refleksi Buya Hamka yang membidik situasi sosial masyarakat yang terjadi antara tahun 1930 hingga 1940-an. Sebagaimana di film yang diadaptasi dari karya Buya Hamka sebelumnya Di Bawah Lindungan Kabah, di film ini pun Buya begitu vokal mengkritisi kungkungan kejumudan adat yang justru melabrak tatanan agama yang begitu kuat diyakininya. Buya yang terkenal sebagai pujangga pemancing airmata tak mau terjebak kepada pengisahan cinta termehek-mehek khas remaja tok, melainkan menapasinya dengan spirit keislaman yang begitu suci sekaligus mencerahkan.

Yang menarik di film ini adalah menyaksikan bagaimana impian sekaligus penghargaan Buya Hamka terhadap masa depan para penulis. Tokoh Zainuddin yang hampir gila lantaran putus harapannya menyunting Hayati yang direbut oleh Aziz—yang secara adat, keturunan, dan status sosial lebih diunggulkan ketimbang Zainuddin—berhasil bangkit dari keterpurukan setelah disemangati oleh sahabatnya bernama Muluk yang melihat bakat Zainuddin dalam dunia tulis-menulis. Dari Padang Panjang keduanya hijrah merantau ke Batavia—sekarang Jakarta—untuk bekerja sekaligus melupakan hayati. Dari sini kemampuan Zainuddin mulai terwujud. Gubahan ceritanya berjudul teroesir yang dimuat secara bersambung di Koran mulai digemari banyak pembaca hingga diterbitkan menjadi buku dan ditawari mengurusi penerbitan di Surabaya.

Di Surabaya masa keemasan Zainuddin selaku pengarang kian cemerlang. Kehidupannya pun berubah total, dari profesinya sebagai pengarang ia mampu membeli rumah besar dan mewah sekaligus menjadi pengarang tersohor dengan banyak pelayan yang berkhidmat kepadanya. Terus terang saya merasa terenyuh jika penghargaan terhadap penulis tahun 30 atau 40-an benar-benar sehebat yang ditampilkan oleh penggambaran Buya yang divisualkan di film ini. Ini mungkin semacam pengharapan sekaligus kritik-ironik Buya terhadap miskinnya apresiasi terhadap dunia tulis-menulis kala itu.  

Sebagai orang yang belum sempat membaca bukunya, saya sempat bertanya-tanya akan seperti apa ending kisah yang oleh Buya diberi judul tenggelamnya kapal van der wijck ini. Saat Zainuddin mulai tersohor, roda nasib berkebalikan. Aziz yang awalnya bergelimang kemewahan dihantui hutang judi sehingga membuatnya bangkrut dan semua harta benda miliknya harus disita sebagai jaminan. Beruntung ia sempat berjumpa Zainuddin saat menghadiri undangan acara opera teroesir. Tanpa sungkan dan malu, Aziz meminta bantuan Zainuddin agar memperkenankan dirinya dan Hayati menumpang di rumahnya.

Zainuddin pun mengizinkan keduanya tinggal di rumahnya tanpa mengungkit rasa sakit hatinya di masa lalu. Dengan bijak Zainuddin menyatakan sudah kewajibannya sebagai sahabat membantu sahabatnya, saat ini ia diizinkan Tuhan mampu menolong, pada saatnya nanti mungkin ia yang giliran ditolong. Namun lama kelamaan Aziz pun minder juga. Sebagai lelaki, ia malu mesti terus menumpang hidup di rumah Zainuddin. Ia pun pergi menitipkan Hayati kepada Zainuddin dan berikrar tak akan pulang sebelum memerolah pekerjaan. Hingga akhirnya Aziz menyurati Zainuddin meminta maaf sekaligus menyerahkan atau menceraikan Hayati agar bisa dinikahi oleh Zainuddin sebagai lelaki yang sangat dicintai oleh Hayati, sementara Aziz sendiri memilih memungkasi hidupnya dengan menenggak racun.

Saya kira dengan meninggalnya Aziz, membuat Zainuddin dengan leluasa akan segera berbahagia melenggang melangsungkan pesta pernikahan besar-besaran mewujudkan impiannya menikahi Hayati sebagai kekasih yang menapasi segenap cerita yang ditulisnya, lantas keduanya mengalami insiden kecelakaan di kapal van der wijck saat hendak menikmati acara bulan madu. Ternyata spekulasi saya meleset, Zainuddin justru memilih mempertahankan egonya, berperang dengan dirinya sendiri.

Di hadapan hayati, ia singgung bagaimana surat balasan Hayati saat menolak surat lamarannya yang mengaku—tanpa paksaan—lebih memilih menerima Aziz ketimbang dirinya yang hina-papa dan meminta Zainuddin agar melupakan sekaligus menganggap tidak pernah terjadi kisah cinta keduanya. Zainuddin dengan berat hati mengatakan dihadapan hayati yang terisak-isak dihimpit kesedihan bahwa sebagai lelaki ia akan berusaha menggenggam kemauan Hayati tersebut. Dengan bergetar Zainuddin berucap pantang pisang berbuah dua kali, pantang lelaki makan sisa, menutupi nuraninya yang sesungguhnya begitu mencintai Hayati.
Disuruhnya Hayati pulang ke Minang menumpangi kapal pesiar Van Der Wijck yang begitu terkenal kala itu. Selain mengongkosi tiket kapal kepulangan Hayati, Zainuddin berjanji akan terus mengirimi Hayati uang sebagai bekal hidup Hayati selama belum mendapatkan jodoh kembali. Merupakan ketulusan cinta yang menyesakkan.

Melalui kepulangan Hayati menumpangi kapal Van Der Wijck inilah, keterkaitan segenap alur cerita dengan judul menemukan titik terang. Kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hayati ternyata tenggelam merenggut banyak korban termasuk Hayati salahsatu korbannya. Zainuddin yang bergegas mengajak Muluk menyusul Hayati setelah menyesali kekeliruan keputusannya mesti menerima kenyataan pahit lantaran kondisi Hayati perempuan yang sangat dicintainya mati-matian mesti meregang nyawa tak tertolong.

Beberapa pesan moral Buya Hamka yang berhasil divisualisasikan melalui film ini adalah bagaimana melawan keterpurukan perasaan dikhianati menjadi suluh semangat untuk mengukir prestasi sebagaimana yang ditunjukkan oleh Zainuddin yang berfokus dalam dunia mengarang yang ditekuninya sungguh-sungguh sehingga memeroleh pencapaian gemilang. Karakter yang ditampilkan Zainuddin pun mengajari saya selaku penonton untuk belajar melupakan dendam dan memilih memungut i’tibar.

Pengalaman pahit cinta Zainuddin kepada Hayati yang dibelukari aturan adat membuatnya kian dermawan. Zainuddin tidak ingin apa yang dialaminya menimpa oranglain sehingga dengan ringan tangan ia mengulurkan bantuan memberikan uang kepada siapapun pemuda yang membutuhkannya saat hendak melangsungkan pernikahan. Sebagai bukti cinta sekaligus mengenang almarhumah Hayati kekasihnya Zainuddin mendirikan Taman Hayati untuk melindungi dan mengayomi anak-anak yatim piatu yang seolah mengingatkan akan nasib dirinya.  

Semoga film ini turut menjernihkan pandangan sebagian para orangtua yang hingga saat ini kerap—masih ada—lebih silau terhadap menterengnya status sosial dan nasab keturunan ketika hendak menikahkan anak gadisnya ketimbang menelisik kokohnya agama sebagai landasan utama yang diisyaratkan baginda Rasul sebagai barometer menuju pernikahan yang Insya Allah berkah dan membahagiakan. Wallahu a’lam.

Cikulur 20 desember 2013 sepulang menonton setelah rampung mengisi raport                       

Komentar

  1. posisi kencot ngletak hayati

    BalasHapus
  2. Kalau cerita orang tua. Sangat bagus sekali. Tpi kl saya nonton tv x. Sangat jauh berada... lebih bagus cerita orang tua.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer