Memahami Kesehatan Lewat Maiyah

Memahami Kesehatan Lewat Maiyah

Oleh : Anas Al Lubab


Judul Buku : Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib

Penulis : dr. Ade Hashman

Penerbit : Bentang Pustaka

Tahun : juni 2019

Tebal : xvi + 364 hlm


Rangkaian tulisan dr. Ade Hashman di buku terbarunya ini telah melempar ingatan saya pada jumpa pertama dengan Emha Ainun Nadjib (selanjutnya saya tulis Emha saja) 2015 lalu di IAIN SMH Banten (kini UIN). Waktu itu, tak terpikir untuk bisa ngobrol langsung dengan Emha. Selesai acara, saya hanya bisa membuntuti Emha hingga ruang rektor untuk menikmati jamuan makan yang disediakan pihak kampus.

Sementara Emha sudah berada di dalam ruang rektor, saya ikut mengambil hidangan prasmanan. Baru saja saya duduk hendak menyantap soto ayam yang masih mengepul panas, Darul Marwan (alumni seangkatan waktu kuliah yang kini jadi ajudan rektor) memanggil saya untuk segera masuk menemui Emha (berkat pemberitahuannya bahwa di luar ada fans berat ingin ketemu). Saking gembiranya, saya meletakkan hidangan yang belum sempat dimakan begitu saja, bergegas masuk membawa buku-buku Emha untuk minta ditandatangani. Di dalam, saya langsung menyalami Emha hingga lupa kanan-kiri (Mohon maaf, Rektor pun lupa saya jabat tangani). 

sumber foto: caknun.com

Tak banyak yang saya tanyakan kepada Emha mengingat banyak yang ngantri ingin berbincang atau sinau dengannya. Saya hanya bertanya mengenai proses kreatif Emha yang ditengah rangkaian kesibukannya yang begitu padat men-tawaf-i nusantara masih tetap bisa produktif menulis setiap hari (waktu itu Emha sedang marathon menulis rubrik Daur setiap hari, yang kini sudah dibukukan sudah jadi 6 seri kalau tidak salah). Emha mengaku, ia menulis tak kenal mood. Kapan saja, di mana saja, kadang sambil melakukan kegiatan keseharian semisal momong anak dsb. “Kamu harus rajin dan disiplin, kelak telur itu akan pecah!” begitu pesan Emha.

Saat ditanya oleh istri rektor mengenai tips menjaga kesehatan, Emha bilang; “Jaga pikiran agar tetap jujur (Pernyataan serupa dari Emha dapat dilihat di hlm. 66) jangan ‘selingkuh’. Ada tempe di hadapan kita, itu yang kita nikmati dan syukuri. Jangan memikirkan rawon yang tidak ada.” Emha pun sempat mengguyoni saya bahwa ia masih kuat sehat segar bugar dan berani lomba lari melawan saya. Ia juga sedikit menceritakan pengalaman hidupnya yang pernah sakit lantaran “disantet” yang sembuh berkat pertolongan Allah melalui ritual kepasrahan yang Emha lakukan yang juga dimuat pada pengantar di buku Ade Hashman ini.

Sebelum berpisah, saat Emha hendak memasuki mobil saya berkesempatan menyalaminya dengan takzim. Emha ternyata tidak langsung masuk mobil, Ia sempat berdoa khusyuk di hadapan saya mengangkat kedua tangannya lantas meniup ubun-ubun saya (entah doa apa yang beliau rapalkan). Rasanya nyes, jiwa raga saya dirasuki ketenangan dan kebahagiaan luarbiasa. Pengalaman perjumpaan yang begitu magis dan berkesan tersebut membuat saya kerap tak bisa tidur. Saat hal tersebut saya keluhkan ke Emha langsung melalui Whatsapp (sebelum Emha memutuskan putus total dari medsos) Emha menjawab agar saya banyak mewiridkan “Ya Hadi, Ya Mubin”  sebanyak-banyaknya (meminta kepada Allah petunjuk yang terang).

Lantas apa kaitan pengalaman saya tersebut dengan isi buku dr. Ade Hashman setebal 364 halaman ini? Sebagaimana judulnya “Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib” begitulah sesungguhnya pola gambaran prilaku keseharian Emha, atau yang populer bagi jamaah Maiyah sebagai konsep cinta segitiga (Allah, Rasulallah, dan seluruh manusia). Cinta kita yang utama kepada Allah. Rujukan pola hidup sehat adalah Rasulallah. Dan kita selaku manusia kata Emha hanya berposisi “semoga” atau bermunajat meminta perkenan atau keridhoan Allah.

Sebelum bertemu dengan Emha, saya mengira ia bak selebriti yang susah didekati, ternyata tidak. Ia begitu low profile hingga mengizinkan saya memasuki ruangan rektor. Dalam berapa kali pertemuan setelahnya, saya justru kerap tak tega melihat Emha di akhir Maiyahan dengan sabar menyalami dan melayani ratusan jamaah yang menyalami dengan berbagai ekspresi dan meminta doa kepadanya.

Dalam buku ini juga digambarkan betapa seorang Emha melayani dan mengayomi siapa saja, kapan saja, di mana saja. Tak jarang di forum-forum Maiyah kita saksikan Emha menaikkan ke panggung, mengobroli, hingga merangkul orang yang dalam pandangan umum dianggap gila. Rasa cinta-Nya pada Allah dan Rasulallah rupanya memberikan energi tanpa batas kepada dirinya dan personil Kyai Kanjeng yang istiqomah senantiasa keliling melayani ribuan masyarakat seakan tanpa jeda istirahat. Seakan Emha tak kenal lelah dan sakit. Bahkan sekadar suara serak dan batuk pun rasanya sulit saya saksikan setiap kali menyaksikan acara maiyahan hingga dini hari. Raut wajah Emha tak berubah dari awal acara hingga selesai.

Di bab 4 (Oase Kesehatan itu Bernama Maiyah) digambarkan berbagai pola interaksi antar jamaah Maiyah dengan Emha yang terkesan justru bertentangan dengan pakem kesehatan selama ini. “Di desa Bukit Jamur jemaah maiyah menunjukkan militansinya dengan tidak beranjak dari duduk di atas tanah becek, lendut, berarir, ngecembeng, licin, dan kotor akibat hujan lebat yang diselingi badai dadakan…”(hlm. 196). Sementara di banyak acara lain gerimis kecil pun kadang membuat bubar.

Apa yang ditulis Ade tidak hanya membongkar definisi prihal kesehatan yang kita fahami selama ini, di dalamnya kita diajak terbang meroket dari hal-hal imanen menuju hal-hal transenden (dari tips kesehatan jasmani hingga ritual menuju kesehatan ruhani) yang titik tolaknya adalah acara maiyahan yang ia teliti. Meski penulisnya seorang dokter (anestesi) tanpa risi Ade melakukan otokritik mengenai “kekeliruan” para medis (dokter) selamai ini. Menurutnya, dokter sesungguhnya bertugas mengajari atau memotivasi pasien untuk membiasakan prilaku hidup sehat, bukan memberikan obat. (hlm. 12-13). Ade pun mengapresiasi ide Emha yang menawarkan merubah konsep rumah sakit menjadi rumah sehat yang kelak memengaruhi kondisi psikologis pasien. Banyak kasus pasien kian merosot kesehatannya setelah mendapat teror mental vonis “tidak mengenakkan” dari dokter. Lihat cerita dr. Deepak Chorpra (hlm. 74)

Buku ini dibagi menjadi 10 bab; dari pembahasan mengenai pengaruh pola pikir positif, pengendalian diri, lelaku puasa, fenomena maiyah, duduk iftirosy, cinta dan keikhlasan, sinergisitas antara aktivitas dan istirahat, kedaulatan memahami kesehatan diri, hingga beragam nilai-nilai spiritual dalam Maiyah yang dipandang Ade turut andil memengaruhi kesehatan.

Meski seorang dokter, Ade mampu menyajikan apa yang ia tulis dengan bahasa yang mudah dicerna (meski dengan bahasa dan istilah kedokteran yang terbilang rumit). Melalui tokoh-tokoh yang kompeten dibidang kesehatan, Ade menjelaskan banyak hal mengenai aspek-aspek yang turut memengaruhi kesehatan. Meski begitu, dengan kerendahan hati Ade mengakui bahwa apapun yang ia tulis tak lebih sekadar dhonny atau persangkaan semata karena pemilik mutlak (Qoth’iy) kesehatan hanya Allah semata.

Pernyataan Ade diperkuat oleh pernyataan Emha sendiri dalam epilog di buku ini yang menjelaskan bahwa semua yang terjadi pada dirinya semata adalah perkenan Allah. Tidak ada yang hebat, tiada yang kuat selain Allah. Ukuran kesehatan pun menurut Emha tidak mesti diukur oleh kebugaran fisik, melainkan kedekatan “diri” kepada Allah. Boleh jadi fisik kita sehat dan bugar, jika hati dan pikiran kita lengah atau terputus koneksinya dengan dan dari Allah itu sesungguhnya diri kita tengah sakit. Sebaliknya fisik kita boleh terlihat terpuruk sakit, namun jika itu kian membuat kita dekat dengan Allah, itu merupakan bentuk kesehatan. (hlm. 348-349)

Buku ini layak dibaca oleh siapa pun yang ingin “kebal” tidak mudah “masuk angin”, yang hendak memahami ulang konsep kesehatan secara lebih komprehensif, baik jasmani pun rohani. Wallahu A’lam.


Anas Al Lubab, Jamaah Maiyah tinggal di Kota Serang-Banten.

Komentar

Postingan Populer