Kisah Haru Pecandu Buku


Oleh Anas Al Lubab

Judul            : Rumah Kertas
Penulis         : Carlos Maria Dominguez
Penerbit       : Marjin Kiri
Cetakan        : September 2016
tebal            : vi +76 hlm. ;12 x 19 cm
ISBN            : 978-979-1260-62-6

Di lembar awal, Dominguez langsung meringkus pembaca, melalui kisah tragis seseorang dosen perempuan pengampu Sastra Amerika Latin di Universitas Cambrige bernama Bluma Lennon, yang tewas setelah tertabrak mobil di tikungan jalan saat keasyikan “mencumbui”  Poems-nya Emily Dickinson.

Tak hanya kematian tragis Bluma, Dominguez juga mendedah sekian tokoh lain yang “kecelakaan” karena buku; ada yang lumpuh setelah kepalanya tertindih lima jilid Encyclopedia Britannica di perpustakaan pribadinya; ada yang patah kaki lantaran terjungkal dari anak tangga saat hendak mengambil Absalom, Absalom! William Faulkner yang menyempil di pojok atas rak buku. (hal 1)

Dominguez seakan pemandu pustaka yang setia mengantarkan setiap pembaca untuk “menziarahi” ruang-ruang eksotis perpustakaan pribadi para penggila buku. Tentu saja berkelindan dengan cerita kematian Bluma. Pasca kematian Bluma, dosen penggantinya mendapat kiriman paket buku La linea de sombra karya Joseph Conrad yang berkerak adukan semen dengan cap pos Uruguay tanpa nama pengirim yang ditujukan untuk Bluma.

Setelah dilacak, berkat bantuan Jorge Dinarli pemilik toko buku lawas (hal 16), yang menganjurkan menemui Agustin Delgado (hal 18), akhirnya pengganti Bluma berhasil mengungkap misteri buku berkerak semen tersebut. Ternyata pengirimnya Carlos Brauer, sikutu buku yang mewakafkan seluruh hidupnya tenggelam menyelami lautan buku. Buku bagi Brauer adalah segalanya. Ribuan buku menyesaki setiap inci sudut ruang di rumahnya, hingga menyesaki kamar mandi dan garasi. Mobilnya ia hibahkan kepada temannya demi bisa menempati ruang garasi tersebut untuk menyimpan buku-buku yang setiap saat beranak-pinak. Bagaimana tidak, untuk menekuri satu buku saja, Brauer terbiasa ditemani sekitar dua puluh buku pendamping di sampingnya (hal 27).


Brauer juga kerap menguras isi dompet demi memenangkan setiap acara pelelangan buku. Hingga suatu saat, kejadian malang menimpanya, kehidupan Brauer guncang setelah nyala lilin (hal 41) yang biasa ia gunakan untuk membaca buku-buku abad 19 menghanguskan indeks ribuan buku yang telah susah payah dibuatnyaribuan bukunya memang tidak hilang, namun ia kesulitan melacak letak buku yang akan dibacanya.        

Brauer pun menjual rumahnya demi memenuhi permintaan sejumlah uang yang dituntut mantan istrinya, mengangkut semua buku koleksinya dan memilih menyepi membangun gubuk sederhana di tepi laut tanpa aliran listrik dan ledeng dengan menjadikan buku-bukunya tersebut sebagai batubatanya. Inilah penjelasan rasional mengapa buku La linea de sombra yang ia kirim balik kepada Bluma berlumur adukan semen, karena ia congkel dari dinding rumahnya. Brauer yang telah membeli segerobak batu untuk menambali dindingnya yang bolong-bolong, harus menerima kenyataan pahit rumahnya keburu ambruk menenggelamkan ribuan buku yang selama ini melindunginya dari dingin dan panas cuaca.     

Tak hanya merangkai kisah haru penggila buku seperti yang dialami Brauer, Dominguez dengan tegas menyindir idealisme para penulis buku dengan menyatakan “…memilih penerbit-penerbit kecil yang memperlakukan naskahmu dengan sungguh-sungguh, atau bersinar terang selama sebulan dengan penerbit besar … lantas lenyap bak bintang jatuh dari deretan buku baru.” (hal 15).

Simak juga kritik tajam Dominguez terhadap dunia penerbitan yang kian merosot kualitasnya “… ada bintang-bintang menyilaukan di peta sastra, orang-orang yang jadi kaya raya dalam semalam berkat buku-buku yang payah, yang dipromosikan habis-habisan oleh penerbitnya, di suplemen-suplemen koran, melalui pemasaran, anugerah-anugerah sastra, film-film acakaduk, dan kaca pajang toko-toko buku yang perlu dibayar demi ruang untuk tampil menonjol. (hal 16). Buku seperti itu menurut Dominguez telah menjadi sumber perang strategis yang halusinatif, sehingga bakat menjadi soal keterkenalan dan kekuasaan belaka.
             
Saya kira, novel ini cukup komprehensif untuk menjadi bahan bacaan para penggila buku. Pembaca akan tergiur untuk menekuri karya-karya Garcia Lorca, Shakespeare, Marquez, Neruda, Dostoievsky, Tolstoy, Hegel, Victor Hugo, Goethe, Hemingway, Kafka, dan banyak lagi. Dominguez berhasil “memuliakan” para maestro penulis dunia melalui dialog-dialog cerdas antar tokoh tanpa terjebak pada gaya warta yang menggurui.[] 





Komentar

Postingan Populer