Mo Yan

Mo Yan
Oleh Anas Al Lubab

Judul        : Di Bawah Bendera Merah
Penulis    : Mo Yan
Penerbit    : PT Serambi Ilmu Semesta
Cetakan    : Ke-1 (Juli 2013)
Tebal        : (xv+140)

Sebelum pengumuman pemenang hadiah nobel sastra 2012 lalu, banyak orang yang telah mengunggulkan sekaligus memprediksi bahwa Mo Yan (China) akan keluar sebagai pemenang melampaui pesaingnya Haruki Mukarami (Jepang) yang sama-sama dijagokan. Yang menurut Anton Kurnia—dalam pengantarnya di buku ini—merupakan bukti bahwa para sastrawan Asia berikut karya-karya mereka tengah diperhitungkan dalam peta sastra dunia.  

Seperti kita ketahui bersama, Mo Yan merupakan orang China kedua setelah Gao Xingjian yang dianugerahi nobel sastra pada 2000. Namun karena Gao Xingjian telah pindah kewarganegaraan ke Prancis saat menerima nobel tersebut. Dengan demikian, Mo Yan lah warga negara China pertama yang meraih nobel sastra setara kurang lebih dua belas miliar tersebut.

Kehadiran novel otobiografis Mo Yan ini, turut menjawab rasa penasaran kita akan kehidupan Mo Yan sehingga tumbuh menjadi sastrawan cemerlang. Novel pendek yang menceritakan kehidupan Mo Yan sejak masa kanak antara 1969 hingga 2009 ini bertutur seputar pengalaman personal Mo Yan semenjak Sekolah Dasar hingga berpindah-pindah bekerja untuk memperbaiki taraf hidupnya yang dibelit kemiskinan.
Di setiap inci rangkai cerita di sekujur novel ini kentara betul bagaimana semenjak kanak Mo Yan begitu tekun mengamati tingkah polah dan karakter orang-orang yang hadir di sekelilingnya dan menyimpannya secara detail ke dalam laci ingatannya. Bagaimana Mo Yan melihat perbedaan kontras anak-anak kader partai komunis yang tumbuh sehat dan bugar lantaran suplai makanan bergizi, berbeda dengan anak-anak miskin seperti dirinya. Juga guru matematika bernama Liu Tianguang yang dijuluki liu kodok karena struktur mulutnya yang lebar.

Dalam penuturannya Mo Yan mengaku bahwa sebagai besar cerita otobiografisnya ini terinspirasi oleh sikap dan karakter He Zhiwu sahabatnya yang terusir dari kelasnya—dengan cara meringkelkan badan lalu bergulir ke luar kelas—hanya karena insiden esainya yang menggelikan yang membuat guru Zhang muntab dan Lu Wenli merengek nangis.

Bagaimana tidak, saat sebagian besar siswa laki-laki menuliskan impiannya—dalam esai yang ditugaskan oleh guru Zhang—secara jelas sebagian besar menulis; ingin menjadi supir lantaran terkagum-kagum oleh cara ayah Lu Wenli yang selalu mengendarai truk gaz 51-nya dengan ngebut bak kesetanan, dengan konyol He Zhiwu hanya menulis beberapa kalimat pendek seperti ini “Aku tidak punya impian lain—aku hanya punya sebuah impian—impianku adalah menjadi ayah Lu Wenli” (hal:9)      

Terusirnya He Zhiwu hingga tak pernah kembali ke kelas membuat Mo Yan lesu darah. Mo Yan sekaligus kagum kepada keteguhan He Zhiwu yang memilih bebas tak mau dikerangkeng oleh tetekbengek aturan sekolah. Sementara keterusiran Mo Yan hanya karena menulis cerita berjudul “Mulut Besar” yang membuat guru Liu Kodok tersinggung sehingga menyeret menendang Mo Yan hingga terjengkang.

Berbeda dengan He Zhiwu yang tak pernah mau kembali ke kelas semenjak terusir, Mo Yan justru selalu kembali ke halaman sekolah sekadar menonton olahraga favoritnya; pingpong, tak pernah kapok mesti selalu menerima perlakukan kasar; dijewer, dijambak, diseret, hingga dilempar ke luar gerbang sekolah.           
       
Sikap Mo Yan yang tak kenal kapok itulah yang menjadi jalan baginya meraih penghidupan yang layak hingga menggondol penghargaan nobel. Saat jadi tentara militer, Mo Yan sempat mendapat peluang kuliah lewat beasiswa yang mensyaratkannya untuk belajar ekstra. Tak ayal sekeliling dinding baraknya ia tempeli dengan seabreg rumus-rumus yang mesti ia jejalkan ke kepalanya. 
   
Sayang, saat tengah berjuang belajar orang yang menjanjikannya meraih beasiswa mengabarkan pembatalan beasiswa. Mo Yan agak kecewa tak mau berlarut duka, ia memilih membeli berbagai majalah dan kembali menulis cerita. Penolakan demi penolakan dari penerbit sudah kenyang ia terima hingga akhirnya karya-karyanya diapresiasi khalayak. Wallahu a’lam

Komentar

Postingan Populer