Menonton Film Edensor Lewat Lembaran Novel

Oleh Anas Al Lubab

Niatnya ingin menonton filmnya langsung, namun karena sedang tak cukup uang mengingat film Edensor dibuat bersambung; dua kali tayang, akhirnya saya memilah kembali menekuri novelnya yang saya beli sekitar 6 tahun lalu—tepatnya tertera dititimangsa yang saya tulis; Selasa, 22 januari 2008. lagian saya percaya gambaran di kepala kita selaku pembaca jauh lebih hebat dan imajinatif ketimbang visual tunggal media film.

Novel ini dibuka dengan cerita masa kecil ikal yang terenyuh akan kesendirian lelaki tua bernama Weh—sahabat kedua orangtuanya—yang memilih menghukum diri sendiri menanggung stigma buruk yang dilontarkan warga. Penyakit burut yang merampok hidupnya dinilai warga sebagai kutukan lantaran lelaki malang tersebut konon pernah lancang melangkahi Al-Quran. Weh pun memilih menjadi nelayan dan mengasingkan diri hidup di perahu.
Rasa iba ikal terhadap nasib malang Weh membuatnya rela membobol tabungan pramukanya terseok-seok mengayuh sepeda puluhan kilometer menuju Manggar membeli radio saku, sekadar turut meringankan beban kesepian lelaki malang yang meninggalkan tunangannya lantaran rasa malu yang menderanya.

Persinggungan dengan Weh inilah yang membuka jalan pengembaraan ikal. Weh turut mengajari ikal bagaimana membaca langit—rasi bintang—untuk menentukan arah mata angin. Menurut lelaki yang memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri tersebut, langit adalah kitab yang terbentang.

Ikal yang dengan susah payah ditahan mbrojol ke dunia oleh ibunya sehingga merepotkan Mak Birah dukun beranak yang mengurusi persalinannya lantaran ibunya keras kepala menginginkan anaknya lahir tepat tanggal 24 oktober bertepatan dengan hari berdirinya Perserikatan Bangsa-bangsa, agar tumbuh menjadi anak pembawa perdamaian. Ternyata tumbuh diluar harapan kedua orangtuanya. Ia menjadi anak yang nakal yang kerap membuat onar sekaligus mempermalukan kedua orangtuanya. Hingga orangtuanya mesti berkali-kali menganti namanya. Tradisi orang melayu mempercayai nama berkelindan dengan baik-buruk peringai sianak.

Ikal yang diberi nama agamis Aqil Barraq Badruddin justru rajin membuat onar yang merepotkan banyak orang. Dari mulai menyembunyikan buku khutbah bersekongkol dengan adiknya yang membuat khatib gelagapan, memindahkan terompah wak haji ke langit-langit mushola, menakol bedug bukan di waktu shalat, mengenakan mukena sepupunya masuk shaf perempuan saat tarawih, menyalakan seseblongan mengarahkannya ke arah jamaah shalat hingga membuat jamaah bubar kocar-kacir, hingga menghasut adiknya yang masih cadel agar mau menyanyikan lagu Indonesia Raya lewat spiker masjid.

Ciri khas yang menonjol dalam gaya bercerita Andrea Hirata adalah merangkai ketegangan konfik berujung gelaktawa. Hal itu bisa kita simak misalnya pada ketegangan Ikal yang cemas menerima bentuk hukuman ayahnya yang kemungkinan akan membuangnya ke pesantren di luar pulau akibat ulah onarnya yang memaksa adiknya menyanyikan lagu Indonesia raya di masjid yang membuat taikong Hamim Muntab. Saat sidang majlis yang berkumpul di masjid seakan menahan napas menunggu keputusan keras ayahnya, ternyata ayah ikal hanya bicara “Akan kuganti lagi namanya…”(hal:24)

Novel ini seakan meyakinkan kita agar benar-benar meyakini apapun mimpi-mimpi yang terlintas dibenak kita. Bagaimana Ikal dan sepupu jauhnya sisimpai keramat Arai mampu berpetualang menaklukan Eropa hingga Afrika hanya gara-gara sugesti positif pak Balia guru sastranya di SMA yang perpesan begini “Murid-muridku, berkelanalah, jelajahi Eropa, jamah Afrika, temukan mozaik nasibmu di pelosok-pelosok dunia. Tuntut ilmu sampai ke Sorbonne di Prancis, saksikan karya-karya besar Antoni Gaudi di Spanyol”(hal:34)

Untuk mengejar impian kedua bukan tanpa aral melintang, keduanya mesti bekerja keras mewujudkannya. Dari menjadi sales perlengkapan rumah tangga hingga bekerja di kantor pos. jika Arai termotivasi oleh cintanya pada Zakiah Nurmala, Ikal tak bisa sekalipun berpaling dari A Ling gadis hokian yang membuatnya kalangkabut mencarinya seakan ke setiap penjuru dunia. Bahkan Katya yang memilihnya diantara banyak lelaki yang memburu cintanya tak serta merta membuat ikal berhenti berusaha mencari jejak keberadaan A Ling.

Selama kuliah di Sorbonne prancis, Ikal dan Arai menjumpai banyak hal. Hari pertama di Eropa membuat Ikal nyaris tewas digerogoti dingin salju yang mencucuk tulang. Beruntung akal cerdik Arai menyelamatkannya dengan menimbunnya dengan daun-daun rowan. Rupanya ikal pernah membaca buku sejarah, begitulah cara tentara Prusia bertahan di musim salju.

Meski secara pencapaian akademis kedua pemuda kampung Belitong Indonesia ini jauh tertinggal oleh orang-orang luar, namun keduanya punya semangat dan daya juang pantang menyerah. Itu mereka buktikan saat berkompetisi antar mahasiswa sekelas di waktu liburan; siapa yang lebih banyak menaklukkan berbagai negara hanya bermodalkan mengamen sesuai kemampuan masing-masing.

Meski hanya menjadi manusia patung putri duyung—hasil ide kreatif Famke Somers bersama mahasiswa Amsterdam School of the Arts—yang penuh suka duka. Dari mulai dirabai; diusap, dicubit hingga di remas dada kanan keduanya oleh pengunjung seakan menyamakan dengn mitos patung Juliette sewaktu perfome manusia duyung di Colosseum Verona. Bahkan nyaris tewas di rampok dalam perjalanan di Crainova; Rumania beruntung ada pak Toha lelaki asal Purbalingga yang bekerja sebagai pembasmi serangga. Tak disangka ternyata keduanya keluar sebagai juara dan tanpa sadar hampir menaklukkan petualang dari Eropa hingga Afrika sebagaimana yang pernah dipesankan pak Balia guru sastranya keduanya sewaktu SMA.

Apa yang Andrea Hirata tulis dalam novel ini seakan mengajak kita mengikuti tur perjalanan keliling Eropa hingga Afrika sekaligus mempelajari aspek sosial budayanya masing-masing negara. Di novel ini dijelaskan bagaimana cara tiap Negara memperlakukan para pelancong. Negara mana yang ramah, lokasi mana yang menyimpan ancaman bahaya, bagaimana cara bertahan di wilayah ekstrim semua Andrea tuturkan dengan meyakinkan berikut detail beberapa lokasi yang dianggapnya penting untuk diceritakan.
  
Jika apa yang ditampilkan di film sungguh-sungguh mengupayakan mendekati cerita yang ada di novelnya, saya yakin film Edensor akan sukses menyedot perhatian penonton jauh mengalahkan pencapaian kedua film yang diadaptasi dari novel Andrea Hirata sebelumnya yang juga diangkat dari tetralogi Laskar Pelangi; Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi yang hanya bersetting lokasi dalam negeri. Wallahu A’lam

Cikulur, 20 Januari 2014. Pukul 21:19 WIB       

Komentar

Postingan Populer