Mengapa Buya Jadi Pujangga?

Oleh Anas Al Lubab

Judul        : Tadarus Cinta Buya Pujangga
Penulis     : Akmal Nasery Basral
Penerbit    : Salamadani
Cetakan    : Maret 2013
Tebal        : xii+ 380 halaman

Semasa kuliah, saya ingat betul Dosen Seni Budaya pernah menceritakan sekilas tentang teladan sikap Buya Hamka saat diundang menghadiri pameran lukisan yang sebagian lukisannya menampilkan pose perempuan tanpa busana. Para wartawan konon berdebar-debar penasaran menanti bagaimana respon Buya saat melihat lukisan tersebut.

Di luar prediksi para wartawan yang menyangka Buya akan bersikap reaktif sehingga mungkin akan segera berlalu keluar ruangan, ternyata Buya berlama-lama menghadapi lukisan tersebut menyiratkan kekaguman. Para wartawan yang penasaran segera berebut pertanyaan. Buya menjawab penuh filosofi, bahwa ia bukan terpesona pada objek lukisannya, melainkan kagum akan keagungan Allah yang menitipkan kemampuan bakat seni luarbiasa kepada pelukisnya apalagi jika hal tersebut dipakai untuk kebajikan. Entahlah, benar atau tidak cerita dosen tersebut, ia tidak menjelaskan sumber referensinya secara pasti.
Efek cerita Dosen tersebut membuat saya menjadi banyak bertanya kepada orang-orang tua yang mengagumi Buya Hamka. Kakak ipar saya pernah menyebut Buya Hamka sebagai ulama sekaligus pujangga yang luarbiasa mempengaruhi sikap hidupnya sehingga ia menjulukinya sebagai “Pujangga Pemancing Airmata”. Ia pun merekomendasikan saya untuk membaca roman Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang Buya tulis.

Salahsatu guru sepuh di sekolah tempat saya mengajar pun berdecak kagum memuji kepiawaian Buya berceramah agama yang begitu jernih dan mengesankan pendengarnya. “Pokoknya, jika ada Buya Hamka berceramah di TV, saya nggak pernah beranjak sebelum selesai” Ujarnya penuh ekspresi kekaguman.

Kekaguman saya akan sosok Buya Hamka semakin menguat setelah rampung membacai novel teranyarnya Akmal Nasery Basral berjudul Tadarus Cinta Buya Pujangga yang mengangkat prikehidupan Buya semasa kecil hingga terkenal sebagai ulama plus pujangga tersohor. 

Saya kian melihat konsistensi Akmal dalam menuliskan sekaligus memberi penghormatan khusus terhadap tokoh-tokoh inspiratif—sebelumnya Akmal telah menulis novelisasi tokoh Ahmad Dahlan dalam Sang Pencerah (2010) dan Syafruddin Prawiranegara dalam Presiden Prawiranegara (2011)—milik negeri ini ditengah dekadensi moral para pemimpin negeri yang kian memprihatinkan.

Akmal membuka novel ini, ketika Buya Hamka dihadapkan pada situsi dilematis saat dijemput utusan Soeharto untuk menjadi imam menyalatkan almarhum Soekarno orang yang pernah memenjarakannya. Juga ditutup oleh awal pertemuan Buya Hamka dengan Soekarno dan Karim Oei di Bengkulu. Disini Akmal menulis sekilas kiprah Soekarno selama di Bengkulu dengan sepedanya mendekati rakyat dan sekolah-sekolah serta kelompok musik Monte Carlo. Saat itu Soekarno menceritakan pertemuannya dengan anak Hooykaas, residen Bengkulu saat melihat perpustakaannya pada Buya Hamka dan Karim Oei. Saat anak itu keheranan dan bertanya pada Soekarno buat apa membaca dan mengumpulkan buku sebanyak itu. Soekarno menjawab dengan percaya diri “Anak muda, saya harus banyak membaca dan belajar, karena atas izin Tuhan, saya yang akan menjadi presiden negeri ini setelah merdeka nanti” yang diamini—didoakan—oleh Buya Hamka dan Karim Oei (hal: 374)  

Hamka kecil yang dipanggil Malik, Akmal hadirkan sebagaimana sikap khas anak kecil kebanyakan; rewel, doyan main dan sering jail. Jika nangis Malik sangat sulit diredakan oleh bujuk rayuan, minuman, dan makanan, namun ajaib ia mendadak diam seketika jika sudah didudukkan menghadap panorama keindahan Danau Maninjau. Pernah misalnya Malik kecil jail menirukan gerak-gerik dan ekspresi yang dilakukan mantri cacar yang datang ke desanya pada anak-anak sebayanya dengan menyuntikkan duri limau sehingga membuat anak-anak yang kesakitan kocar-kacir hingga membuat kedua orangtuanya murka. Membolos sekolah. Menjadi joki pacuan kuda. Dan banyak lagi hal-hal khas anak-anak dilakukan Malik yang menggelikan dan menerbitkan senyum pembacanya.

Proses Malik hingga jadi pujangga bukan tanpa alasan yang melatarbelakanginya. Semenjak kecil ia begitu akrab mendengar petatah petitih yang sering disampaikan kakeknya saat mengasuhnya sambil memancing, juga lingkungan adat melayu yang melingkunginya yang akrab dengan tradisi beradu pantun dan bercerita. Malik pun hanyut melahap berbagai bacaan di perpustakaan yang disebut Bibliotek Zainaro. Sedari kecil Malik mewarisi sikap kritis ayahnya hingga ketika studi di mekah ia ditegur oleh kawan-kawannya karena dinilai kurang menghormati guru lantaran kerap mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis di depan umum. Dan pemahaman agamanya kian terbuka setelah bertemu dan berguru pada Tjokroaminoto.

Awal kepenulisan Hamka bisa kita baca sepulangnya ia dari tanah suci berkat bujukan Haji Agus Salim yang membuatnya mengurungkan niatnya bertahan di tanah suci terlebih dahulu selama 10 tahun sebagaimana yang niatkannya. Catatan pertemuan dengan Haji Agus Salim selama di Mekah yang dimuat di harian Pelita Andalas inilah awal mula Hamka dikenal menulis di media massa dan membuatnya ditawari menulis di majalah Seruan Islam dan memiliki banyak penyuka tulisannya. Hingga bulan pertama sepulang ke Indonesia tulisannya sudah dimuat di empat penerbitan. (hal: 262)              

Bagaimana Hamka menempatkan pentingnya baca-tulis sungguh sangat mengagumkan. Bagaimana misalnya saat diperpustakaan Bibliotek Zainaro yang harus nyewa jika ingin membaca, rasa hausnya membaca yang tidak diimbangi kemampuan uang jajannya membuatnya memutar otak hingga menyediakan diri untuk bantu-bantu di percetakan Bagindo Sinaro—tempat Angku Zainuddin pemilik Bibliotek Zainaro mempercayakan perawatan bukunya. Sebagai imbalannya Malik tidak meminta uang asal diizinkan membaca buku-buku Angku Zainuddin yang disewakan secara gratis. (hal: 113).

Setelah rampung membaca biasanya Malik akan menyalinnya versi sendiri. Kadang Malik remaja pun mengirim surat cinta pada perempuan sebayanya bukan semata-mata untuk menaklukkan hatinya melainkan untuk melatih kemampuannya menulis.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap penulis atau pengarang selalu menempatkan buku menjadi prioritas utama sebelum melakukan prosesi menulis. Sebab bagaimana mungkin kita bisa menuliskan lintasan ide-ide yang berkelabat di kepala dengan mudah, jika tidak punya bekal kekayaan kosakata melalui perantara kesungguhan membaca. Hamka pun demikian, ia melanggar larangan Kiai Mas Mansoer yang melarang Hamka mengunjungi toko buku langganan Kiai Mas Mansoer kuatir kebobolan uang. Benar saya, di toko buku itu Hamka memboyong begitu banyak buku sehingga uangnya tidak cukup, beruntung penjualnya mengerti dan berbaik hati mengizinkannya membayar separuhnya terlebih dahulu. (hal: 303)

Melalui novel ini kita bisa membaca bahwa karya-karya Hamka atau kemampuannya menulis sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh sikap kritisnya terhadap kungkungan adat tempatnya dilahirkan serta pengalaman hidupnya yang mesti menghadapi kenyataan kedua orangtuanya bercerai lagi-lagi lantaran pertentangan adat. Ibunya kuat memegang tradisi sedangkan ayahnya sangat mendahulukan nash agama.

Saat Hamka ditanya oleh istrinya mana yang lebih membahagiakannya menjadi ulama atau pengarang, Hamka menjawab bahwa menjadi ulama sudah menjadi tradisi yang sudah turun temurun dalam keluarganya, namun menjadi pengarang atau pujangga butuh perjuangan. Itulah mengapa menjadi pengarang sangat membahagiakannya (hal: 298)      
     
Nama-nama tempat, tokoh, suasana kehidupan dan momen yang terjadi semasa hidup Buya Hamka berhasil Akmal suguhkan kembali dengan begitu meyakinkan dan filmis. Namun ada satu bagian salah ketik yang mungkin luput dari perhatian Imanda selaku pemeriksa aksara buku ini. Yakni pada bab “lahirlah H.A.M.K.A”. Akronim H.A.M.K.A tertulis Haji Abdul Malik Karim Abdullah bukan Amrullah. (hal: 263)

Namun itu bukan suatu cacat yang berarti, novelisasi kehidupan Buya Hamka yang disuguhkan Akmal akan menyeret kita ke pusaran kehidupan Buya Hamka yang penuh dinamika dan kekayaan makna. Semoga masih akan hadir Hamka Hamka berikutnya yang mengharumkan negeri ini dengan keteladanan sikap dan kematangan karya. Wallahu a’lam. 

Komentar

Postingan Populer