Merenung Bersama Para Mbambung



       

Oleh Anas Al Lubab*

Judul      : Markesot Bertutur
Penulis    : Emha Ainun Nadjib
Penerbit  : Mizan
Cetakan  : 1 September 2012 (Edisi Baru)
Tebal      : 471

Lalu lalang persoalan kehidupan sehari-hari yang kerap memacetkan lintasan jalan berpikir membuat kita dengan tergesa-gesa menjustifikasi hitam-putih persoalan dengan memencet klakson kesimpulan-kesimpulan dangkal dan serba instan yang alih-alih menyelesaikan persoalan malah memperunyam keadaan. Persis seperti seabreg permasalahan yang timbul tenggelam diwartakan berbagai media di negeri ini yang hadir bagai dongeng.
Fenomena seperti itu nampaknya menggerakan Cak Nun mau nyebur basah kuyup menyelami lautan persoalan hingga dasar.
Melalui tokoh Markesot—yang mewakili sikap hidupnya—Cak Nun dengan fasih berbicara berbagai tema yang begitu beragam, dari mulai hal-hal keseharian yang terkesan remeh-temeh seperti makanan urap, filosofi ketahanan mental penjual kacang hingga persoalan menyangkut situasi dunia internasional—Perang Teluk.
Seorang kolomnis multiperan seperti Cak Nun dengan piawai menangkap semua ikan-ikan persoalan yang berhasil ia jaring lalu menyodorkannya ke hadapan kita selaku pembaca. Ini jenis ikan layur enaknya dibakar, ini ikan tongkol enaknya diprekedel. Dan sebagainya dan seterusnya. Dalam hal ini ia selalu menuturkan aneka persoalan melalui obrolan guyon bersama para mbambung—orang-orang terpinggirkan. Walau begitu Cak Nun tidak sedang menyodorkan hitam putih persoalan, Ia hanya menunjukan pelbagai pintu kemungkinan-kemungkinan solusi yang bisa kita pilih untuk menyikapi persoalan.
Dalam hal ini Markesot segendang-sepenarian dengan tingkah polah Socrates yang rajin berkeliling menemui setiap orang yang ditemuinya di berbagai tempat dan kesempatan untuk diajak berdialog memancing sikap kritis lawan bicaranya dengan umpan-umpan pertanyaan yang menggelisahkan sekaligus mencerahkan.     
Itulah mengapa, buku yang edisi pertamanya terbit 1993 ini ternyata masih relevan untuk kita pakai sebagai teman duduk sekaligus bercermin merenungkan aneka persoalan kekinian yang kian ingarbingar.
Satu hal yang sangat kental dalam berbagai tulisan yang Cak Nun buat di buku ini, ia kerap berusaha menyeret pembaca dari hal-hal imanen (sementara) mendaki ke puncak kesadaran transenden (hakiki), namun tanpa tercebur kedalam ceramah yang menjemukan. Pesan-pesan ayat Al-Quran pun diolahnya menjadi hal sederhana yang mudah dipahami dan begitu mencerahkan.
Membaca kumpulan kolom Markesot Bertutur—pernah dimuat seminggu sekali di harian Surabaya post 1989 hingga 1992—ini akan menyingkap kepicikan-kepicikan tingkah polah kita dalam menjalani peran kehidupan yang kian ingar-bingar diserbu kompleksitas permasalahan.
Cak Nun kerap menggugat ketidakadilan dan jamaah birokratik kejahatan. Kompleksitas dan keunikan sikap Kehidupan para mbambung atau orang-orang tersisihkan oleh keadaan ditangan Cak Nun menjadi cahaya kebijaksanaan yang menyilaukan kesadaran. Kita diingatkan untuk tidak menjatuhkan klaim baik-buruk berdasarkan simbol-simbol atau atribut pakaian luar. Kita diingatkan untuk menyadari bahwa tidak semua yang kita senangi itu merupakan kebaikan, dan tidak melulu apa yang kita hindari dan benci itu sebagai keburukan.
Kumpulan kolom ini dibagi ke dalam 8 tema pembahasan. Tentang wajah kekuasaan, agama dan peradaban, etos sosial, ritus dan religiositas, politik perang teluk, sikap hidup, sosok, dan kaum tersisih.
Ke delapan tema pembahasan ini selalu dibungkus dengan berbagai guyonan cerdas khas Cak Nun. Jika diibaratkan sebagai fotografer Cak Nun tidak pernah mau menjatuhkan pilihan untuk membidik satu angel. Jika ia membidik satu objek maka objek itu akan dibolak-baliknya hingga tak ada satupun bagian yang terlewat ia jepret. Hasilnya membuat kita selaku pembaca bergumam “Oh iya ya, ternyata objek yang dibidik aslinya kayak gini ya, kalau dilihat dari sini!”
Jika setiap tema yang dikulitinya, ia selalu sodorkan untuk ditindaklanjuti oleh renungan pembacanya terserah mau diapakan. Artinya tidak berupaya menarik hanya satu garis tegas instruksi solusi yang bisa kita gunakan. Namun tidak untuk keyakinannya kepada Allah selaku penggenggam semesta alam. Cak Nun sadar betul keutamaan menjalani hidup tidak ditentukan oleh pencapaian penguasaan atas benda-benda materiel, namun bagaimana kita bisa menomorsatukan Allah di setiap tempat dan keadaan. Jika kita haqul yakin bahwa Allah maha besar, maka segala kompleksitas permasalahan kehidupan sesumpek apapun adalah hal kecil yang tidak usah terlalu kita risaukan.
Kita hidup oleh Allah, dalam penguasaan Allah, dan kelak mau tidak mau akan kembali kepada-Nya. Memangnya kita mau kemana? Wallahu a’lam             
     
*Penulis adalah Relawan Rumah Dunia
            
   

Komentar

Postingan Populer