NUJOOD: Agama dalam Dominasi Patriarki



Oleh Anas Al Lubab

Judul               : Saya Nujood, Usia 10 dan Janda
Penulis             : Nujood Ali dan Delphine Minoui
Penerbit           : Pustaka Alvabet Jakarta
Cetakan           : Maret 2012 cet-6
Halaman          : 236 Halaman

Awalnya saya tidak begitu menghiraukan buku bercover foto perempuan belia, mengenakan kerudung hitam yang dipinjam istri saya dari muridnya yang tergeletak begitu saja di kamar kosan setelah selesai ia baca dalam waktu begitu cepat. Didorong rasa penasaran lantaran ketika membaca istri saya nampak begitu terhanyut, akhirnya saya pun turut membacanya. Sejak 2010 penerbit Alvabet mencatat telah mencetak buku ini untuk ke-6 kalinya. Buku ini diterbitkan pertama kali dalam bahasa Prancis dengan judul Moi Nojoud, 10 ans Divorcee. versi bahasa Indonesia-nya diterjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul I am Nujood, 10 and Divorced penerbit Michel Lafon Publishing 2009. Buku otobiografi ini ditulis oleh dua orang—Nujood Ali sebagai narasumber dan Delphine Minoui sebagai pencatat—dan telah membuka tabir tentang kekeliruan manusia dalam menjalankan praktek agama dalam hal ini praktek perkawinan di bawah umur.

Melalui kisah Nujood kita mafhum bahwa pada prakteknya agama tidak menganjurkan pemeluknya manut pada sistem obsesif manusia tanpa reserve. Karena agama itu (ujar Nabi) adalah pengerahan daya fungsi akal sehat, tidak dianggap beragama mereka yang manut para tradisi bentukan manusia tanpa berpikir keras tentang kalkulasi baik buruknya.

Nujood, gadis cilik dan manis yang lahir di desa Kharji Yaman—ujung selatan semenanjung Arab beribukota di Sana’a—ini tumbuh seperti anak kecil kebanyakan. Masa kecilnya ia lalui dengan bermain dan menggambar dengan krayon penuh warna-warni bersama rekan sebaya di sekolahnya. Namun pada suatu hari kemerdekaannya sebagai anak kecil direnggut ayahnya. Di usianya yang belum genap 10 tahun ia telah dijodohkan sekaligus dikawinkan paksa dengan lelaki dewasa pilihan ayahnya. Nujood kecil tak bisa berbuat apa-apa selain mencoba sabar dan ikhlas. Karena jangankan Nujood—yang masih bocah—hampir semua perempuan di desa Kharji termasuk ibunya manut begitu saja dan hanya mampu berkata iya untuk sesuatu yang sebenarnya hatinya berkata tidak. Inilah dominasi patriarki berselubung praktek agama yang merampas paksa kemerdekaan hak asasi kaum perempuan. 

Saat akad, suami Nujood Faez Ali Thamer. dipaksa berkomitmen oleh Dowla—ibu  tiri Nujood—di hadapan kedua orangtuanya bahwa ia tak akan menyentuh wilayah intim Nujood sebelum Nujood cukup umur. Namun ternyata komitmen itu dilanggar mentah-mentah pas malam pertama. Dari sinilah cerita estafet kepiluan kisah hidup Nujood kian berkembang. Belum lagi sikap mertuanya yang memperlakukannya sebagai babu atau pekerja rodi dimana setiap hari Nujood mesti melakukan serangkaian pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan seorang diri. Timbunan penderitaan yang setiap saat mendera Nujood telah memercikan api keberaniannya  untuk menuntut cerai suaminya. Ia pun nekat pergi ke kota seorang diri mencari gedung pengadilan berkat anjuran Dowla. Awalnya para hakim tak begitu menggubris pengaduan bocah belia bernama Nujood yang melaporkan sikap kasar dan tidak manusiawi suaminya. Namun berkat ketegasan Nujood, akhirnya mereka pun bersimpatik dan bersedia membantu proses pengadilan Nujood dengan suaminya.

Di ruang pengadilan Faez Ali Thamer mengaku memperlakukan Nujood dengan baik. Sementara ayah Nujood sendiri mengaku bahwa saat ia menikahkan putrinya Nujood telah berusia 13 tahun. Mendapat demontrasi kebohongan seperti itu, Nujood berang. Ia pun berteriak lantang menyatakan yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Berkat bantuan para hakim dan kepala pengadilan—Muhammad Al Ghazi—serta peran media massa dalam hal ini ekspos tulisan yang diangkat para jurnalis—Salahsatunya Hamed Thabet, jurnalis Yemen Times—mengenai penderitaan Nujood. Nujood menang dan namanya popular tersiar melalui surat kabar melintasi batas-batas Negara. Sebagai janda termuda yang begitu berani menuntut haknya Nujood dianugerahi penghargaan sebagai Women of the Year oleh majalah Glamour menyejajarkannya dengan Nicole Kidman, menteri luar negeri Condoloezza Rice dan senator Hillary Clinton.

Setelah resmi bercerai, Nujood mendapat uluran simpatik dari banyak orang. Ia mendapat pemberian uang sebesar 750 dolar dari seorang dermawan yang terkesan oleh keberaniannya Beberapa hari kemudian Nadia pemimpin redaksi Yemen Times mengundang Nujood untuk rekreasi melihat ruang kerja Yemen Times. Pengalaman berkunjung ke Yemen Times membuat Nujood bermimpi menjadi jurnalis untuk membela orang-orang tertindas seperti dirinya. Ia pun mendapat hadiah boneka yang selama ini hanya ada diranah mimpinya, karena kemiskinan dan penderitaan hidup keluarganya membuatnya tidak banyak berharap.

Di Yaman dan banyak Negara lain seperti Afghanistan, Mesir, India, Iran, Pakistan, praktek menikahi gadis di bawah umur dianggap lumrah dan legal dengan dasar mencontoh sikap Rasul yang menikahi Aisyah pada usia 9 tahun. Bahkan di pedesaan Yaman menurut Husnia Al Khadri (Direktur Urusan Perempuan Universitas Sana’a) ada pribahasa; untuk menjamin kebahagiaan pernikahan, seorang lelaki dianjurkan menikahi gadis berusia 9 tahun. Masih menurut Al Khadri apa yang dilakukan Nujood telah menghancurkan pintu tertutup, sehingga pada 2009 parlemen Yaman membuat undang undang syarat minimal usia pernikahan 17 tahun ke atas.

Keberanian Nujood telah menginspirasi banyak orang. Arwa 9 tahun dan Rym 12 tahun misalnya, mereka berani menggugat cerai suaminya ke pengadilan lantaran terinspirasi kisah keberanian Nujood. Menurut Nadia Al Saffak Pimred Yemen Times apa yang dialami Nujood bukanlah kasus baru. Ia bercerita tentang gadis 9 tahun yang meninggal setelah 3 hari usia pernikahannya akibat penyiksaan suaminya. Orangtuanya alih-alih menuntut ulah KDRT sang suami malah meminta maaf dan menawarkan adik yang meninggal yang masih berusia 7 tahun sebagai kompensasinya—ganti rugi.

Kasus perceraian Nujood yang menginspirasi kaum perempuan untuk berani menuntut hak-haknya sekaligus merubah undang-undang pernikahan yang selama ini dianggap telah mendiskreditkan hak asasi kaum perempuan. Tidak hanya menuai simpati juga memunculkan sikap antipati. Para syeikh di Yaman sebagai orang yang berkuasa menentukan hukum-hukum menyerang Shada Naseer—pengacara Nujood—karena dianggap pembelaannya terhadap persidangan Nujood telah mencoreng citra Yaman. Pasca perceraian Nujood seolah merasa terlahir kembali. Ia pun kembali ke sekolah dan bisa bermain kembali dengan teman-temannya. Dan hampir setiap hari para wartawan surat kabar selalu hadir mewawancarai Nujood untuk menulis kisah heroiknya. Buku Nujood kini diterjemahkan ke dalam 16 bahasa dan royaltinya diperuntukan untuk kebutuhan Nujood dan keluarganya yang dililit kemiskinan.

Mashour, penerjemah buku ini mengatakan bahwa praktek nikah di bawah umur bukan saja berdampak pada tekanan psikologis sang anak tetapi juga merampas hak pendidikan kaum perempuan. Sehingga wajar jika 70% wanita di Yaman mengalami buta huruf. Buku ini tidak hanya menampilkan potret keberanian seorang bocah bernama Nujood. Nujood adalah ikon perlawanan terhadap dominasi patriarki berselubung asas agama. Ia mengajarkan kita untuk memahami agama dengan mengaktifkan nalar dan nurani. Tidak ada kepatuhan tanpa reserve. Iman islam ikhsan harus kita jalankan dengan segenap pemikiran dan perasaan. Agama jangan sampai kita serahkan kepada militer fiqih yang menentukan halal haram secara serampangan. Wallahu a’lam.[]

Komentar

Postingan Populer